Satu
LAMPU-LAMPU DI MASJID SUDAH DINYALAKAN MENANDAKAN
KEGELAPAN MALAM TELAH MENJELANG. AZAN MAGRIB BARU SAJA DIKUMANDANGAN MARBUT
MEMANGGIL UMAT ISLAM UNTUK SEGERA MENUNAIKAN KEWAJIBANNYA MENGHADAP SANG
KHALIK. SEMENTARA BULAN YANG MUNCUL
LEBIH AWAL BARU SEDIKIT MEMBERIKAN CAHAYANYA UNTUK MELIHAT SUNARTI YANG AKAN
MENUTUP JENDELA RUANG TAMU SEPERTI YANG DILAKUKANNYA SEHARI-HARI. SUNARTI TEPAT
BERDIRI DI TENGAH ANTARA DUA DAUN JENDELA YANG DIPEGANGNYA.
SUNARTI :
Akh, bulan muncul lebih awal...sementara azan baru saja berkumandang.
Ya, Allah, cepat sekali hari berganti.
Aku merasakan waktu mengejarku untuk segera menghadap-Mu. Tapi kumohon
kepada-Mu biarkan aku bersama Kang Mas Jarkoni sedikit berharap kepastian
akan
kedatangan anak-anakku kelak.
Akh, sebaiknya aku tidak harus menutup jendela ini. Aku akan biarkan selalu
terbuka
untuk menandakan bahwa aku selalu menunggu kedatangan anak-anakku.
(MENJAUH DARI JENDELA, LALU DUDUK DI KURSI GOYANG TEMPAT IA BIASA
MENYENDIRI)
Benarlah pepatah kasih ibu sepanjang jalan kasih anak sepenggal jalan.
Tapi, itu tidak berlaku untukku,karena aku tidak pernah memperlakukan kedua
orang
tuaku seperti ini. Aku sepenuhnya mengasihi dan mencintai kedua orang
tuaku.
Mereka, anak-anakku mengapa mereka memperlakukan aku dan Mas Jarkoni, ayah
mereka, seperti ini. Dulu mereka berjanji akan merawat kami, mereka akan
mengunjungi kami seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, bahkan
setahun
sekali. Itu pun karena hari raya.Mereka wajib bersujud
meminta maaf kepada kami.
JARKONI : (DARI DALAM) Jeng! Jeng! Ayo, Magrib dulu! Nanti sela abis.
SUNARTI : Yo, yo, yo. Sebentar saja! Ah, mengapa aku berpikir seperti itu
terhadap anak-anakku. Tidak, tidak boleh. Aku yakin mereka pasti
datang mengunjungi aku. Entah kapan. Suatu saat...suatu saat...itu
akan terbukti sebagai
satu kepastian.
(BANGKIT
DARI KURSI GOYANG)
Dua
MALAM SETELAH SHOLAT ISYA. SUNARTI DAN JARKONI SEPERTI
BIASA DUDUK DI RUANG TAMU . BERBINCANG, BERKELAKAR. BERNOSTALGIA. DAN BERDOA.
JARKONI SELALU YANG MEMULAI. SEMENTARA SUNARTI KADANG MENIMPALI, KADANG MARAH
TERSINGGUNG, KADANG BERSEDIH, KADANG TERTAWA BAHAGIA BILA JARKONI MENGUNGKAP
NOSTALGIA TENTANG CINTANYA KEPADA SUNARTI.
JARKONI : Jadi memang seperti
inilah keberadaan kita ketika sudah masuk
senja.
SUNARTI : Opo toh, maksudmu? Aku nggak pernah dong kalo kamu sudah
bermain dengan
kiasan.
JARKONI : Weh, katanya dulu senang sastra. Tapi, kok ungkapan
saja nggak
paham, piye toh?
SUNARTI : Ojo ngenye toh Mas! Begini-begini aku iki mantan kepala sekolah.
JARKONI : Iyo, iyo, jeng. Aku Cuma bercanda. Aku tahu, kok, kamu itu mantan
kepala sekolah. Kepala sekolah yang baik. Kepala sekolah
teladan.
Dan juga istri yang...
SUNARTI : Kamu nyindir aku, ya?
JARKONI : Loh, kok nyindir? Siapa yang nyindir?
SUNARTI : Yo, pasti kamu ingin mengatakan kalau aku istri yang kurang perhatian
terhadap suami dan anak-anakku.
Ya, kan, Mas?
JARKONI : Tidak begitu, Jeng. Sungguh aku tidak bermaksud begitu. Justru kamu
yang telah menyelamatkan hidupku dan
anak-anakku hingga kini aku
masih mendampingimu.
SUNARTI : Bohong, Mas! Kamu bohong! Kamu cuma hanya menghibur
aku, kan?
JARKONI : Tidak, Jeng. Aku menyatakan yang sebenarnya. Kamu ingat kata-
kataku ketika melamarmu dulu? ”Jeng, Jeng, kamu mau
tidak menikah
dengan aku? Aku sudah siap untuk menjadi seorang suami. Bahkan
lebih dari siap.
Sebab aku iki saestu lawistu.
Benar-benar laki-laki wis
tue” (TERTAWA SENDIRI) Lalu kamu senyum-senyum mendengar
kelakarku. Tapi
sayangnya aku hanya seorang wartawan dengan gaji
pas-pasan, jeng. Dan tawamu tambah berderai. Aku
puas. Aku
senang melihat
kau seperti itu.
SUNARTI : (TERSIPU-SIPU TIDAK JADI MARAH) Ah, kamu tuh,
Mas,
(MENCUBIT) sejak dulu
selalu saja dapat membuat aku tersenyum.
JARKONI : Lalu kamu mengangguk tanda setuju, tapi tiba-tiba saja kamu
meralatnya dengan alasan aku tanya dulu bapak - ibuku. Dan itulah
yang selalu menjadi
pertimbanganmu dalam mengahadapi hal apa
saja. Aku senang dan kagum
karena kamu selalu mengutamakan
orang tua adalah segalanya. Meski kutahu banyak orang berkata orang
tua adalah pihak ketiga
yang sewaktu-waktu dapat memorakporanda
kan keluarga kita.
SUNARTI : Maksudmu?
JARKONI : Bukan...aku hanya bercerita kata orang yang memandang orang tua
juga termasuk pihak ketiga.
SUNARTI : Dan kamu menanggapinya?
JARKONI : Tidak!
SUNARTI : Dan kamu menyetujui pandangan itu?
JARKONI : Tidak!
SUNARTI : Karena kamu memang merasakan itu, kan, Mas?
JARKONI : Tidak!
SUNARTI : Mas, aku minta maaf. Kalau selama kamu
mendampingi aku merasa
ada yang tidak
benar. Kamu tertekan. Kamu merasa selalu aku atur
hidupmu. Kamu
merasa hak sebagai klaki-laki, sebagai suami terinjak-
injak hanya karena
kamu tidak memiliki pekerjaan, dan hidupmu
bergantung padaku,
Sementara kamu takut untuk menolak,
memberontak, merasa malu, galau, tidak tega meninggalkan aku
karena aku juga
telah menghidupimu. Bahkan kadang hak bicaramu
saja sering
terbelenggu. Kamu tidak boleh bicara ini itu di hadapanku.
Kamu hanya
mengurus anak saja biar aku yang bekerja mencari uang.
Dan semua itu
membuktikan bahwa aku berhasil mencapai karierku.
Mencapai cita-citaku.
JARKONI : (DIAM TERTUNDUK)
SUNARTI : Sekarang kita sudah sama-sama tua. Aku memang merasa,
perhatianmu, kasih
sayangmu, cintamu tidak berkurang sedikit pun.
Tapi jika sekarang
ini merupakan saat yang tepat untuk bicara atau
mengambil sikap meninggalkan aku, aku sudah siap, Mas. Aku rela.
JARKONI : (MENATAP DALAM) Untuk apa, Jeng?
Usiaku sudah 85. dan kamu
sudah 70 tahun.
Apa lagi yang menjadi permasalahan bagi
kita? Kalau
pun
aku mau sudah sejak dulu kutinggalkan. Tapi kecintaanku
terhadap kamu,
anak-anak, tidak membuat aku surut menghadapi
gelombang kehidupan
rumah tangga kita. Barangkali ungkapanmu
tadi hanya merupakan
introspeksi diri, koreksi diri yang terlupakan
selama ini. Akh,
sudahlah Jeng. Tidak ada lagi yang perlu dipikirkan
SUNARTI : (MENATAP DALAM KEPADA JARKONI)
JARKONI : Mengapa, Jeng?
Matamu berkaca-kaca. Kamu menangis?
SUNARTI : (MENANGIS) Aku memang lalai sebagai istri. Sebagai ibu, Mas. Aku
malu kepada diri
sendiri. Aku terlalu egois. Aku selalu saja tidak pernah
menerima
pendapatmu. Aku selalu ingin benar di matamu, di mata
anak-anakku.
Bahkan mereka tak sanggup menolak kehendakku,
mereka selalu
mencoba untuk menerima obsesiku agar mereka
berbuat
sepertiku, berprofesi sepertiku, bahkan jodoh pun harus sesuai
kriteriaku. Aku
tidak mungkin menebus kegagalanku di usia renta
begini. Mas, aku
ingin menyendiri malam ini. Aku mohon kamu
mengerti, Mas.
JARKONI : Jeng, nanti kamu sakit. Mengapa kamu
berlaku seperti ini? Mengapa
kita tidak berlaku seperti malam-malam sebelumnya.
Sebelumnya.
Dan sebelumnya. Kita tunjukkan kepada sang
pencipta kalau kita
berhasil membina rumah tangga, menjalin cinta,
memiliki anak-anak
yang manis dan penurut kepada kita. Ayo, Jeng,
sudah malam. Kita
beristirahat. Aku yakin esok pagi kita sudah
segar kembali. Kalau
kamu
kutinggalkan, aku khawatir kekecewaan akan menjadi teman
tidurku dan mimpiku.
SUNARTI : (TERSENYUM) Kamu
selalu saja berhasil membujukku, Mas
menghiburku, hingga aku tersenyum. Dan kamu
menikmatinya
sepanjang malam.
JARKONI : . Karena aku terlalu mencintai kamu, Jeng.
LAMPU DI RUANG TAMU PADAM. MEREKA MENUJU PERADUAN.
Tiga
PAGI HARI. SUDAH
HARI KETIGA RATUS SEJAK HARI RAYA TAHUN LALU DALAM HITUNGAN CATATAN
HARIANNYA. SUNARTI SEPERTI BIASA DUDUK DI KURSI GOYANG MENUNGGU HIDANGAN TEH
MANIS DIBAWAKAN JARKONI KE HADAPANNYA. PADA LEMBAR-LEMBAR PERTAMA HALAMAN BUKU
HARIANNYA SUNARTI MASIH TERLIHAT SENYUM-SENYUM KECIL MENERTAWAKAN CATATANNYA
SENDIRI TENTANG KEJADIAN, PERISTIWA, PERTEMUAN, DAN SEGALANYA SELAMA PERJALANAN
HIDUPNYA BERSAMA JARKONI. TAPI PADA HALAMAN-HALAMAN TENGAH TERLIHAT AIR MUKANYA
BERUBAH. SENYUMNYA PUN MENGHILANG.
SUNARTI : Akh, kamu memang selalu smart. Smooth. Ehm...di sini
terasa agak
nakal kata-katanya. Tapi aku suka. Ah, merayu
lagi, merayu lagi.
Nah, yang ini kalimat
yang aku tidak suka. (TERHENTI MEMBACA)
SELEMBAR FOTO TERJATUH DARI SISIPAN HALAMAN BUKU HARIAN
SUNARTI. SUNARTI MENCOBA MENGAMBIL FOTO YANG TERJATUH DI LANTAI TEPAT DI UJUNG
JARI-JARI KAKINYA.
SUNARTI : Akh, ini foto Mas Jar dengan gadis Manado itu. Maureen, ya Maureen
namanya yang mencoba menggodanya. Ehm, memang cantik
Menarik.dan segar
penampilannya. Pantaslah kalau Mas Jar sempat
jatuh cinta kepadanya.
Tapi, mengapa Mas Jar mengaku tidak pernah
merasa begitu bahkan tidak sedikit pun ada perasaan cinta kepadanya.
Akh, tidak mungkin. Wanita ini telah membuatku marah besar kepada
Mas Jar. Dan hampir saja kami bercerai. Karena
Mas Jar tak pernah
mau jujur dan
berterus terang. Dia selalu bersumpah untuk
menyatakan dirinya tidak pernah bersalah. Akh, ini tidak boleh terjadi.
Tidak bpleh
dibiarkan selama aku masih hidup mendampinginya.
(BERTERIAK-TERIAK) Mas!
Mas! Mas Jar!
JARKONI : (DARI DALAM) Yo, yo! Sabar to Jeng aku segera ke depan!
SUNARTI TAMPAK BERANG. WAJAH KERIPUTNYA MAKIN MEMBUAT
KECANTIKANNYA HILANG. NAFASNYA TERENGAH-ENGAH. BOLEH DIBILANG SUNARTI
MEGAP-MEGAP MELAWAN EMOSINYA UNTUK TETAP TENANG.
JARKONI : (MUNCUL DENGAN SECANGKIR TEH MANIS DI TANGANNYA)
ini teh manisnya,
Jeng. Kamu makin tua makin tidak sabar
menghadapi aku,
Jeng.
SUNARTI : Ya, aku memang sudah tidak bisa sabar lagi.
JARKONI : .Ono opo toh, Jeng?
SUNARTI : Ono opo, ono opo. Aku minta cerai!
JARKONI : Ya, Allah! Astagfirullah! Ada apa, Jeng? Masih pagi begini melontarkan
kata-kata itu?
SUNARTI BANGKIT DARI KURSI GOYANG MENUJU JENDELA LALU MELEMPAR
PANDANGAN KELUAR.
SUNARTI : Kita sebaiknya bercerai saja, Mas.
JARKONI : Mengapa tiba-tiba ingin kita bercerai, Jeng. Ada apa? Aku minta maaf
kalau ada yang salah aku memenuhi
perintahmuatau permintaanmu,
Jeng.
SUNARTI : Tidak perlu minta maaf. Aku ingin kita bercerai.
JARKONI : Jeng, jangan pernah main-main dengan kata-kata itu, Allah tidak suka.
SUNARTI : Biarkan saja Allah tidak suka daripada aku tersakiti.
JARKONI : Maksud kamu apa? Aku tidak pernah ingin menyakitimu,
Jeng?
SUNARTI : Masih saja seperti
dulu. Minta maaf. Tidak mengaku bersalah. Lalu
bersumpah.
JARKONI : Jelaskan saja, Jeng. Biar aku paham dan kita cepat
menyelesaikannya.
SUNARTI : Baik. (MEMBERIKAN FOTO YANG ADA DI TANGANNYA) Ini! Kamu
lihat baik-baik,
dan pandangi saja sampai puas. Aku ingin melihat
wajahmu saat kamu
terjebak dalam kebohonganmu, Mas.
JARKONI : (MELIHAT DAN MEMANDANGI FOTO DI TANGANNYA) Masya Allah!
Astagfirullah!
Jeng, dari mana kamu dapat ini? Dan ini untuk apa?
SUNARTI : Kamu memang tidak pernah tahu tentang foto itu. Aku dapatkan ketika
aku bersama
mbakyuku mencarimu karena kamu tidak pulang dalam
beberapa hari.
Pertama ketika kamu dipenjarakan karena
keterlibatanmu sebagai anggota partai komunis.
JARKONI : Itu fitnah! Pemerintah salah menangkap orang. Aku tidak terlibat!
SUNARTI : Tapi nyatanya kamu dipecat, Mas. Kantor tempat kamu
bekerja pun
disegel.
JARKONI : Tidak benar itu!
SUNARTI : Lalu yang kedua? Bagaimana dengan wanita itu? Maureen, kan
namanya?
JARKONI : Aku tidak pernah menerima foto itu. Dan aku tidak pernah Menyimpan
nya! Kamu saja
yang tidak percaya! Karena kamu memang selalu
begitu!
SUNARTI : Apa kamu bilang, Mas? Aku selalu begitu?
JARKONI : .Jeng, tunggu! Tunggu dulu! Jangan potong bicaraku!
SUNARTI : Alah, kau ingat, Mas ketika kita sering dihadapkan pada kenyataan?
Kita sulit untuk
memberi makan anak-anak? Membeli pakaian anak-
anak? Aku harus
menangis setiap saat melihat kamu pulang dari cari
kerja tapi tidak
membawa hasil apa-apa?
JARKONI : Kenapa
kamu ungkit semua itu, Jeng? Itu hanya akan
menyakitkan kamu. Juga aku. Bukankah masa lalu
sudah kita kubur
dalam-dalam.
SUNARTI : Begitu
mudahnya setiap laki-laki berkata. Mengingat sejenak lalu
melupakannya tanpa arti.
JARKONI : Tapi tidak denganku, Jeng. Aku telah membuktikan segalanya
kepadamu. Kubiarkan harga diriku
terinjak-injak. Kubiarkan lauhinakan
diriku. Kubiarkan ketakberdayaanku dalam
kuasamu. Kubiarkan
semua itu demi kecintaanku kepada kamu, Jeng.
Sementara dengan
ringannya kamu permainkan masa laluku, masa
lalu kita di usia senja
ini. Apa artinya kebersamaan kita selama ini
kalau harus diakhiri
dengan satu perceraian karena hal yang tak
jelas.
SUNARTI : Tak jelas kamu bilang, Mas.
JARKONI : Yach. Karena selama ini aku memang tidak pernah melakukan hal
yang terburuk atau tercela dalam hidupku
sebagai laki-laki, sebagai
suami, meskipun aku tidak menafkahimu,
menafakahi anak-anakku
secara finansial selama itu, tapi aku telah
menafkahi istriku, anak-
anakku secara
rohaniah. Silakan kamu tuntut ketidakberdayaanku
sejak dulu. Itu
kalau kamu mau. Tapi, kamu tidak pernah melakukan
itu, karena aku
juga tahu kalau kamu amat sangat mencintaiku. Tapi
daripada harus
saling menyakiti lebih baik kuserahkan keputusannya
kepadamu, Jeng. Sejak kita menikah, sejak aku
mendampingimu, aku
mencoba menjadi laki-laki terbaik di
sampingmu. Aku mencoba
menjadi laki-laki yang kamu kagumi. Meski
semua itu hanya sebatas
keinginan dan
mencoba. Maka kamulah yang selalu memutuskan. Dan
sejak saat itu
juga aku menyetujuinya. (MELANGKAH AKAN
MENINGGALKAN SUNARTI)
Aku ingin
istirahat. Cukup terguncang aku mendengar kejujuranmu
menilaiku.biarkan
sebagai laki-laki. Istirahatlah! Jangan kamu biarkan
nafsumu merajaimu. Jadikan raja di hatimu,
raja di pikiranmu,
dan raja di
aortamu keyakinanmu kepada sang Khalik, Maha
kebenaran dari segala yang benar.
SUNARTI : Mas, aku belum selesai bicara, kamu mencoba menaklukkan
hatiku, amarahku,
kebencianku terhadap masa lalumu! Mas,
jangan beranjak dulu!
JARKONI : Tak ada yang perlu diselesaikan lagi. Segalanya telah selesai di ujung
senjaku. Dan kamu telah puaskan batinmu yang
tertekan dengan
segala penghinaan dan perendahan diri untukku.
Aku hanya ingin tidur
sebentar menenangkan diri hingga menjelang
zuhur nanti. Kalau aku
terlelap dalam todurku tolong
bangunkan aku.
SUNARTI : (DIAM)
SUNARTI TAK MAU BICARA LAGI. HATINYA SEPERTI MEMENDAM KEKECEWAAN. DIA HANYA MENATAP
KEBERLALUAN JARKONI, SUAMINYA MENUJU KAMAR TIDUR.
SUNARTI MASIH MERENUNG DI KURSI GOYANGNYA. WAJAHNYA SEDIH
PENUH KEKECEWAAN, ENTAH YANG DIRASAKAN
KEBENARAN ATAU KESALAHAN DIRINYA TERHADAP JARKONI, SUASANA HENING DAN LAMPU PADAM PERLAHAN. GELAP SEJENAK.
SUNARTI : Bagya, kamu
bangunkan Bapak. Tadi Bapak berpesan saat zuhur
dibangunkan. Aku
khawatir dia terlelap.
BAGYA : Baik, Bu. (BERGEGAS DARI DUDUKNYA MENUJU KE KAMAR TIDUR
JARKONI)
HANYA SEKEJAP BAGYA MASUK, TERDENGAR SUARANYA
MELAFAZKAN INALILAHI WAINALILAHI ROJIUN.
SUNARTI : Aku sudah menduga
sejak pertengakaran tadi. Firasatku benar
menyatakan ia
kan meninggalkan aku.
BAGYA : (KELUAR DARI KAMAR) Bu, Bapak sudah tidak ada. Bapak sudah
pergi. Sekujur
badannya dingin sya pegang tadi. Ibu yang sabar, ya.
Ibu yang tabah,
ya. Saya segera memberi tahu putra-putri Ibu. Dan
saya juga akan memberi tahu tetangga serta pengurus mesjid.
SUNARTI : (TIDAK BERGEMING
DARI DUDUKNYA)
AIR MATANYA TERUS MENGALIR MEMBASAHI PIPINYA YANG
KERIPUT. IA TIDAK BISA BICARA APA-APA. SEGALANYA TELAH TERJADI. IA HANYA BISA
MERENUNGI KEJADIAN YANG BARU SAJA BERLALU.
Empat
SEUSAI MAGRIB. SUNARTI SEPERTI BIASA DUDUK DI KURSI
GOYANG. SEMENTARA ITU MUNCUL BAGYA MENAWARKAN BANTUAN UNTUK MEMBUATKAN MINUMAN
KESUKAAN MAJIKANNYA SETIAP SORE—SECANGKIR TEH MANIS HANGAT.
BAGYA : Ibu, mau saya buatkan teh manis hangat?
SUNARTI : Terima kasih. Aku
itidak ingin pakai gula.
BAGYA : Nanti pahit, Bu?
SUNARTI : Biarkan
saja.
BAGYA BERGEGAS MEMBUATKAN TEH HANGAT TANPA GULA. SEKEJAP SAJA DIA SUDAH KEMBALI DENGAN SECANGKIR TEH DI
TANGANNYA.
BAGYA : Silakan diminum,
Bu. Mumpung hangat. Dan cocok untuk
menenangkan hati,
menyegarkan badan, dan pikiran yang selalu
menerawang.
SUNARTI : Terima kasih Bagya.
(MERAIH CANGKIR TEH YANG
DISODORKANNYA)
Duduklah kamu di sini. Temani aku berbincang.
BAGYA : Baik, Bu. (MENGAMBIL POSISI AGAK JAUH DARI KURSI GOYANG)
SUNARTI : Bagya. Aku yakin
kamu merasakan apa yang aku rasakan saat ini.
Sebab kamu
pernah mengalami hal yang sama.
BAGYA : Ya, Bu.
SUNARTI : Berapa usiamu
sekarang, Bagya?
BAGYA : 33 tahun, Bu.
SUNARTI : Cukup matang
sebagai laki-laki. Sudah berapa tahun, ya kamu ikut
aku?
BAGYA : Hampir tiga tahun, Bu.
SUNARTI : Istrimu di mana?
BAGYA : Maaf, Bu saya, kan pernah bercerita kalau saya sudah bercerai.
Karena istri
saya tidak sanggup hidup bersama saya yang tanpa
pekerjaan tetap.
SUNARTI : O, ya. Maaf.
Maklumlah usiaku sudah senja. Lalu mengapa kamu pilih
pekerjaan supir
dan sekaligus penjaga rumahku?
BAGYA : Laki-laki mana yang ingin pekerjaan seperti ini. Semua wanita pasti
menganggapnya
rendah.
SUNARTI : Tidak semua wanita,
Bagya.
BAGYA : Tapi kenyataannya demikian, Bu.
SUNARTI : Daripada tidak
bekerja.
BAGYA : Betul, Bu. Akan lebih rendah martabat laki-laki jika ia tidak bekerja.
Laki-laki akan
lebih terhormat, lebih terjaga martabatnya ketika dia
memiliki pekerjaan.
SUNARTI : Bagaimana perasaan
seorang laki-laki yang tidak bekerja.
BAGYA : Laki-laki yang mana, Bu?
SUNARTI : Ada berapa
laki-laki di dunia ini?
BAGYA : Ada tiga laki-laki, Bu. Pertama laki-laki pendaki yang senantiasa jiwanya
penuh dengan
semangat hidup untuk memenuhi kebutuhannya, dan
kebutuhan pasangan hidupnya. Kedua laki-laki
penikmat. Laki-laki yang
ingin tetap dihormati sebagai laki-laki tanpa
harus banyak memikirkan
persoalan hidupnya. Baginya hari ini untuik
hari ini. Hari esok itu soal
nanti. Dan yang terakhir laki-laki yang paling
rendah derajatnya. Laki-
laki yang sering
merampas hak orang lain tanpa mau bekerja. Dialah
laki-laki pecundang.
SUNARTI : O, hebat sekali
pemahamanmu. Kamu cerdas dan... lalu kamu
sendiri
laki-laki tipe yang mana Bagya?
BAGYA : Terserah Ibu melihat saya dari sudut pandang mana.
SUNARTI : (BANGKIT DARI
DUDUKNYA. MELANGKAH MENUJU JENDELA)
Mas Jarkasi
benar-benar hanya ingin membahagiakan aku. Dia tidak
ingin
mengecewakan aku. Dia tidak ingin aku tersakiti. Meskipun Mas
Jar sendiri sudah
tersakiti hatinya, jiwa raganya. Perasaannya.
Martabatnya. Wibawanya. Aku yakin
bertahun-tahun dia memendam
kekecewaannya. Menekan perasaannya. Maafkan
aku Mas.
BAGYA : Sudah Magrib, Bu.
Biar jendelanya saya yang tutup.
SUNARTI : Ini hari apa, ya?
BAGYA : Jumat, Bu.
SUNARTI : Tanggal berapa?
BAGYA : 30 Juni, Bu.
SUNARTI : Berarti aku masih
bisa bertemu dengan anak-anakku yang selalu
berjanji untukku.
BAGYA : Maksud Ibu?
SUNARTI : Ramadhan hampir
tiba.
BAGYA : Ooo.
LAMPU PADAM PERLAHAN. KESUNYIAN MAKIN SENYAP. SESENYAP
BATIN SUNARTI MENANTI ANAK-ANAKNYA MENEPATI JANJI.
LAYAR TUTUP.
Komentar
Posting Komentar