Langsung ke konten utama

Senja Makin Pudar

Satu
LAMPU-LAMPU DI MASJID SUDAH DINYALAKAN MENANDAKAN KEGELAPAN MALAM TELAH MENJELANG. AZAN MAGRIB BARU SAJA DIKUMANDANGAN MARBUT MEMANGGIL UMAT ISLAM UNTUK SEGERA MENUNAIKAN KEWAJIBANNYA MENGHADAP SANG KHALIK.  SEMENTARA BULAN YANG MUNCUL LEBIH AWAL BARU SEDIKIT MEMBERIKAN CAHAYANYA UNTUK MELIHAT SUNARTI YANG AKAN MENUTUP JENDELA RUANG TAMU SEPERTI YANG DILAKUKANNYA SEHARI-HARI. SUNARTI TEPAT BERDIRI DI TENGAH ANTARA DUA DAUN JENDELA YANG DIPEGANGNYA.
SUNARTI   :
Akh, bulan muncul lebih awal...sementara azan baru saja berkumandang.
Ya, Allah, cepat sekali hari berganti.
Aku merasakan waktu mengejarku untuk segera menghadap-Mu. Tapi kumohon
kepada-Mu biarkan aku bersama Kang Mas Jarkoni sedikit berharap kepastian akan
kedatangan anak-anakku kelak.
Akh, sebaiknya aku tidak harus menutup jendela ini. Aku akan biarkan selalu terbuka
untuk menandakan bahwa aku selalu menunggu kedatangan anak-anakku.
(MENJAUH DARI JENDELA, LALU DUDUK DI KURSI GOYANG TEMPAT IA BIASA
MENYENDIRI)
Benarlah pepatah kasih ibu sepanjang jalan kasih anak sepenggal jalan.
Tapi, itu tidak berlaku untukku,karena aku tidak pernah memperlakukan kedua orang
tuaku seperti ini. Aku sepenuhnya mengasihi dan mencintai kedua orang tuaku.
Mereka, anak-anakku mengapa mereka memperlakukan aku dan Mas Jarkoni, ayah
mereka, seperti ini. Dulu mereka berjanji akan merawat kami, mereka akan
mengunjungi kami seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, bahkan setahun
sekali. Itu pun karena hari raya.Mereka wajib bersujud meminta maaf kepada kami.
JARKONI   :  (DARI DALAM)  Jeng! Jeng! Ayo, Magrib dulu! Nanti sela abis.
SUNARTI   :  Yo, yo, yo. Sebentar saja! Ah,  mengapa aku berpikir seperti itu
                     terhadap anak-anakku. Tidak, tidak boleh. Aku yakin mereka pasti
                     datang mengunjungi aku. Entah kapan. Suatu saat...suatu saat...itu
                     akan terbukti sebagai satu kepastian.
                     (BANGKIT DARI  KURSI GOYANG)
                    
Dua

MALAM SETELAH SHOLAT ISYA. SUNARTI DAN JARKONI SEPERTI BIASA DUDUK DI RUANG TAMU . BERBINCANG, BERKELAKAR. BERNOSTALGIA. DAN BERDOA. JARKONI SELALU YANG MEMULAI. SEMENTARA SUNARTI KADANG MENIMPALI, KADANG MARAH TERSINGGUNG, KADANG BERSEDIH, KADANG TERTAWA BAHAGIA BILA JARKONI MENGUNGKAP NOSTALGIA TENTANG CINTANYA KEPADA SUNARTI.
JARKONI    :  Jadi memang seperti inilah keberadaan kita ketika sudah masuk
 senja.
SUNARTI   :  Opo toh, maksudmu? Aku nggak pernah dong kalo kamu sudah
 bermain dengan kiasan.
JARKONI  :  Weh, katanya dulu senang sastra. Tapi, kok ungkapan saja nggak
                     paham, piye toh?
SUNARTI   : Ojo ngenye toh Mas! Begini-begini aku iki mantan kepala sekolah.
JARKONI   :  Iyo, iyo, jeng. Aku Cuma bercanda. Aku tahu, kok, kamu itu mantan
kepala sekolah. Kepala sekolah yang baik. Kepala sekolah teladan.
Dan juga istri yang...
SUNARTI   :  Kamu nyindir aku, ya?
JARKONI   :  Loh, kok nyindir? Siapa yang nyindir?
SUNARTI  :  Yo, pasti kamu ingin mengatakan kalau aku istri yang kurang perhatian
           terhadap suami dan anak-anakku. Ya, kan, Mas?
JARKONI   :  Tidak begitu, Jeng. Sungguh aku tidak bermaksud begitu. Justru kamu
                      yang telah menyelamatkan hidupku dan anak-anakku hingga kini aku
                      masih mendampingimu.
SUNARTI   :  Bohong, Mas! Kamu bohong! Kamu cuma hanya menghibur aku, kan?
JARKONI  :  Tidak, Jeng. Aku menyatakan yang sebenarnya. Kamu ingat kata-
                     kataku  ketika melamarmu dulu? ”Jeng, Jeng, kamu mau tidak menikah
                     dengan aku? Aku sudah siap untuk menjadi seorang suami. Bahkan
                     lebih dari siap. Sebab aku iki saestu lawistu. Benar-benar laki-laki wis
                     tue” (TERTAWA SENDIRI) Lalu kamu senyum-senyum mendengar
                     kelakarku. Tapi sayangnya aku hanya seorang wartawan dengan gaji
                     pas-pasan, jeng. Dan tawamu tambah berderai. Aku puas.  Aku
                     senang melihat kau seperti itu.
SUNARTI   :  (TERSIPU-SIPU TIDAK JADI MARAH) Ah, kamu tuh, Mas,
                     (MENCUBIT) sejak dulu selalu saja dapat membuat aku tersenyum.
JARKONI   : Lalu kamu mengangguk tanda setuju, tapi tiba-tiba saja kamu
                     meralatnya dengan alasan aku tanya dulu bapak - ibuku. Dan itulah
                     yang selalu menjadi pertimbanganmu dalam mengahadapi hal apa
                     saja. Aku senang dan kagum karena kamu selalu mengutamakan
                     orang tua adalah segalanya. Meski kutahu banyak orang berkata orang
                     tua adalah pihak ketiga yang sewaktu-waktu dapat memorakporanda
                     kan keluarga kita.
SUNARTI   :  Maksudmu?
JARKONI   :  Bukan...aku hanya bercerita kata orang yang memandang orang tua
                     juga termasuk pihak ketiga.
SUNARTI   :  Dan kamu menanggapinya?
JARKONI   : Tidak!
SUNARTI   :  Dan kamu menyetujui pandangan itu?
JARKONI   : Tidak!
SUNARTI   :  Karena kamu memang merasakan itu, kan, Mas?
JARKONI   :  Tidak!
SUNARTI   :  Mas, aku minta maaf. Kalau selama kamu mendampingi aku merasa
                     ada yang tidak benar. Kamu tertekan. Kamu merasa selalu aku atur
                     hidupmu. Kamu merasa hak sebagai klaki-laki, sebagai suami terinjak-
                     injak hanya karena kamu tidak memiliki pekerjaan, dan hidupmu
                     bergantung padaku, Sementara kamu takut untuk menolak,
                     memberontak, merasa malu, galau, tidak tega meninggalkan aku
                     karena aku juga telah menghidupimu. Bahkan kadang hak bicaramu
                     saja sering terbelenggu. Kamu tidak boleh bicara ini itu di hadapanku.
                     Kamu hanya mengurus anak saja biar aku yang bekerja mencari uang.
                     Dan semua itu membuktikan bahwa aku berhasil mencapai karierku.
                     Mencapai cita-citaku.
JARKONI   :  (DIAM TERTUNDUK)
SUNARTI   :  Sekarang kita sudah sama-sama tua. Aku memang merasa,
                     perhatianmu, kasih sayangmu, cintamu tidak berkurang sedikit pun.
                     Tapi jika sekarang ini merupakan saat yang tepat untuk bicara atau
                     mengambil sikap meninggalkan aku, aku sudah siap, Mas. Aku rela.
JARKONI   :  (MENATAP DALAM) Untuk apa, Jeng? Usiaku sudah 85. dan kamu
                     sudah 70 tahun. Apa lagi  yang menjadi permasalahan bagi kita? Kalau
                     pun aku mau sudah sejak dulu kutinggalkan. Tapi kecintaanku
                     terhadap kamu, anak-anak, tidak membuat aku surut menghadapi
                     gelombang kehidupan rumah tangga kita. Barangkali ungkapanmu
                     tadi hanya merupakan introspeksi diri, koreksi diri yang terlupakan
                     selama ini. Akh, sudahlah Jeng. Tidak ada lagi yang perlu dipikirkan
SUNARTI   :  (MENATAP DALAM KEPADA JARKONI)
JARKONI   :   Mengapa, Jeng? Matamu berkaca-kaca. Kamu menangis?
SUNARTI   :  (MENANGIS) Aku memang lalai sebagai istri. Sebagai ibu, Mas. Aku
                     malu kepada diri sendiri. Aku terlalu egois. Aku selalu saja tidak pernah
                     menerima pendapatmu. Aku selalu ingin benar di matamu, di mata
                     anak-anakku. Bahkan mereka tak sanggup menolak kehendakku,
                     mereka selalu mencoba untuk menerima obsesiku agar mereka
                     berbuat sepertiku, berprofesi sepertiku, bahkan jodoh pun harus sesuai
                     kriteriaku. Aku tidak mungkin menebus kegagalanku di usia renta
                     begini. Mas, aku ingin menyendiri malam ini. Aku mohon kamu
                     mengerti, Mas.
                    
JARKONI   :   Jeng, nanti kamu sakit. Mengapa kamu berlaku seperti ini? Mengapa
                      kita  tidak berlaku seperti malam-malam sebelumnya. Sebelumnya.
                      Dan sebelumnya. Kita tunjukkan kepada sang pencipta kalau kita
                      berhasil membina rumah tangga, menjalin cinta, memiliki anak-anak
                      yang manis dan penurut kepada kita. Ayo, Jeng, sudah malam. Kita
                      beristirahat. Aku yakin esok pagi kita sudah segar kembali. Kalau
                     kamu kutinggalkan, aku khawatir kekecewaan akan menjadi teman
                      tidurku dan mimpiku.
SUNARTI   :   (TERSENYUM) Kamu selalu saja berhasil membujukku, Mas
                       menghiburku, hingga aku tersenyum. Dan kamu menikmatinya
                       sepanjang malam.
JARKONI   :  . Karena aku terlalu mencintai kamu, Jeng.
LAMPU DI RUANG TAMU PADAM. MEREKA MENUJU PERADUAN.

Tiga

PAGI HARI. SUDAH  HARI KETIGA RATUS SEJAK HARI RAYA TAHUN LALU DALAM HITUNGAN CATATAN HARIANNYA. SUNARTI SEPERTI BIASA DUDUK DI KURSI GOYANG MENUNGGU HIDANGAN TEH MANIS DIBAWAKAN JARKONI KE HADAPANNYA. PADA LEMBAR-LEMBAR PERTAMA HALAMAN BUKU HARIANNYA SUNARTI MASIH TERLIHAT SENYUM-SENYUM KECIL MENERTAWAKAN CATATANNYA SENDIRI TENTANG KEJADIAN, PERISTIWA, PERTEMUAN, DAN SEGALANYA SELAMA PERJALANAN HIDUPNYA BERSAMA JARKONI. TAPI PADA HALAMAN-HALAMAN TENGAH TERLIHAT AIR MUKANYA BERUBAH. SENYUMNYA PUN MENGHILANG.
SUNARTI   :  Akh, kamu memang selalu smart. Smooth. Ehm...di sini terasa agak
                      nakal kata-katanya. Tapi aku suka. Ah, merayu lagi,  merayu lagi.
                     Nah, yang ini kalimat yang aku tidak suka. (TERHENTI MEMBACA)  
                      
                              
SELEMBAR FOTO TERJATUH DARI SISIPAN HALAMAN BUKU HARIAN SUNARTI. SUNARTI MENCOBA MENGAMBIL FOTO YANG TERJATUH DI LANTAI TEPAT DI UJUNG JARI-JARI KAKINYA.
SUNARTI   :  Akh, ini foto Mas Jar dengan gadis Manado itu. Maureen, ya Maureen
                     namanya yang mencoba menggodanya. Ehm, memang cantik
                     Menarik.dan segar penampilannya. Pantaslah kalau Mas Jar sempat
                     jatuh cinta kepadanya. Tapi, mengapa Mas Jar mengaku tidak pernah
                     merasa begitu bahkan tidak sedikit pun ada perasaan cinta kepadanya.
                     Akh, tidak mungkin. Wanita ini telah membuatku marah besar kepada
                     Mas Jar. Dan hampir saja kami bercerai. Karena Mas Jar tak pernah
                     mau jujur dan berterus terang. Dia selalu bersumpah untuk
                     menyatakan dirinya tidak pernah bersalah. Akh, ini tidak boleh terjadi.
                     Tidak bpleh dibiarkan selama aku masih hidup mendampinginya.
                      (BERTERIAK-TERIAK) Mas! Mas! Mas Jar!    
JARKONI   :  (DARI DALAM) Yo, yo! Sabar to Jeng aku segera ke depan!
SUNARTI TAMPAK BERANG. WAJAH KERIPUTNYA MAKIN MEMBUAT KECANTIKANNYA HILANG. NAFASNYA TERENGAH-ENGAH. BOLEH DIBILANG SUNARTI MEGAP-MEGAP MELAWAN EMOSINYA UNTUK TETAP TENANG.
JARKONI   : (MUNCUL DENGAN SECANGKIR TEH MANIS DI TANGANNYA)
                     ini teh manisnya, Jeng. Kamu makin tua makin tidak sabar
                     menghadapi aku, Jeng.
SUNARTI   :  Ya, aku memang sudah tidak bisa sabar lagi.
JARKONI   :  .Ono opo toh, Jeng?
SUNARTI   :  Ono opo, ono opo. Aku minta cerai!
JARKONI   : Ya, Allah! Astagfirullah! Ada apa, Jeng? Masih pagi begini melontarkan
                      kata-kata itu?

SUNARTI BANGKIT DARI KURSI GOYANG MENUJU JENDELA LALU MELEMPAR
PANDANGAN KELUAR.
SUNARTI   :  Kita sebaiknya bercerai saja, Mas.
JARKONI   :  Mengapa tiba-tiba ingin kita bercerai, Jeng. Ada apa? Aku minta maaf
                      kalau ada yang salah aku memenuhi perintahmuatau permintaanmu,
                     Jeng.
SUNARTI   :  Tidak perlu minta maaf. Aku ingin kita bercerai.
JARKONI   :  Jeng, jangan pernah main-main dengan kata-kata itu, Allah tidak suka.
SUNARTI   :  Biarkan saja Allah tidak suka daripada aku tersakiti.
JARKONI   :  Maksud kamu apa? Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Jeng?
SUNARTI   : Masih saja seperti dulu. Minta maaf. Tidak mengaku bersalah. Lalu
                     bersumpah.
JARKONI   :  Jelaskan saja, Jeng. Biar aku paham dan kita cepat
                     menyelesaikannya.
SUNARTI   :  Baik. (MEMBERIKAN FOTO YANG ADA DI TANGANNYA) Ini! Kamu
                     lihat baik-baik, dan pandangi saja sampai puas. Aku ingin melihat
                     wajahmu saat kamu terjebak dalam kebohonganmu, Mas.            
JARKONI   :  (MELIHAT DAN MEMANDANGI FOTO DI TANGANNYA) Masya Allah!
                     Astagfirullah! Jeng, dari mana kamu dapat ini? Dan ini untuk apa?
SUNARTI   :  Kamu memang tidak pernah tahu tentang foto itu. Aku dapatkan ketika
                     aku bersama mbakyuku mencarimu karena kamu tidak pulang dalam
                     beberapa hari. Pertama ketika kamu dipenjarakan karena
                      keterlibatanmu sebagai anggota partai komunis.
JARKONI   :  Itu fitnah! Pemerintah salah menangkap orang. Aku tidak terlibat!
SUNARTI  :  Tapi nyatanya kamu dipecat, Mas. Kantor tempat kamu bekerja pun
                     disegel.
JARKONI   :  Tidak benar itu!
SUNARTI   :  Lalu yang kedua? Bagaimana dengan wanita itu? Maureen, kan
                      namanya?
JARKONI   :  Aku tidak pernah menerima foto itu. Dan aku tidak pernah Menyimpan
                     nya! Kamu saja yang tidak percaya! Karena kamu memang selalu
                     begitu!
SUNARTI   :  Apa kamu bilang, Mas? Aku selalu begitu?
JARKONI   :  .Jeng, tunggu! Tunggu dulu! Jangan potong bicaraku!
SUNARTI   :  Alah, kau ingat, Mas ketika kita sering dihadapkan pada kenyataan?
                     Kita sulit untuk memberi makan anak-anak? Membeli pakaian anak-
                     anak? Aku harus menangis setiap saat melihat kamu pulang dari cari
                     kerja tapi tidak membawa hasil apa-apa?
 JARKONI   :  Kenapa kamu ungkit semua itu, Jeng? Itu hanya akan
                      menyakitkan kamu. Juga aku. Bukankah masa lalu sudah kita kubur
                      dalam-dalam.
 SUNARTI   :  Begitu mudahnya setiap laki-laki berkata. Mengingat sejenak lalu
                      melupakannya tanpa arti.
JARKONI   :  Tapi tidak denganku, Jeng. Aku telah membuktikan segalanya
                      kepadamu. Kubiarkan harga diriku terinjak-injak. Kubiarkan lauhinakan
                      diriku. Kubiarkan ketakberdayaanku dalam kuasamu. Kubiarkan
                      semua itu demi kecintaanku kepada kamu, Jeng. Sementara dengan
                      ringannya kamu permainkan masa laluku, masa lalu kita di usia senja
                      ini. Apa artinya kebersamaan kita selama ini kalau harus diakhiri
                      dengan satu perceraian karena hal yang tak jelas.
SUNARTI   :  Tak jelas kamu bilang, Mas.
JARKONI   :  Yach. Karena selama ini aku memang tidak pernah melakukan hal
                      yang terburuk atau tercela dalam hidupku sebagai laki-laki, sebagai
                      suami, meskipun aku tidak menafkahimu, menafakahi anak-anakku
                      secara finansial selama itu, tapi aku telah menafkahi istriku, anak-
                     anakku secara rohaniah. Silakan kamu tuntut ketidakberdayaanku
                     sejak dulu. Itu kalau kamu mau. Tapi, kamu tidak pernah melakukan
                     itu, karena aku juga tahu kalau kamu amat sangat mencintaiku. Tapi
                     daripada harus saling menyakiti lebih baik kuserahkan keputusannya
                      kepadamu, Jeng. Sejak kita menikah, sejak aku mendampingimu, aku
                      mencoba menjadi laki-laki terbaik di sampingmu. Aku mencoba
                      menjadi laki-laki yang kamu kagumi. Meski semua itu hanya sebatas
                     keinginan dan mencoba. Maka kamulah yang selalu memutuskan. Dan
                     sejak saat itu juga aku menyetujuinya. (MELANGKAH AKAN
                     MENINGGALKAN SUNARTI)
                     Aku ingin istirahat. Cukup terguncang aku mendengar kejujuranmu
                     menilaiku.biarkan sebagai laki-laki. Istirahatlah! Jangan kamu biarkan
                      nafsumu merajaimu. Jadikan raja di hatimu, raja di pikiranmu,
                     dan raja di aortamu keyakinanmu kepada sang Khalik, Maha
                     kebenaran dari segala yang benar.
SUNARTI   :  Mas, aku belum selesai bicara, kamu mencoba menaklukkan
                     hatiku, amarahku, kebencianku terhadap masa lalumu! Mas,
                     jangan beranjak dulu!
JARKONI   :  Tak ada yang perlu diselesaikan lagi. Segalanya telah selesai di ujung
                      senjaku. Dan kamu telah puaskan batinmu yang tertekan dengan
                      segala penghinaan dan perendahan diri untukku. Aku hanya ingin tidur
                      sebentar menenangkan diri hingga menjelang zuhur nanti. Kalau aku
                      terlelap dalam todurku tolong bangunkan aku.
SUNARTI   :  (DIAM)

SUNARTI TAK MAU BICARA LAGI. HATINYA SEPERTI MEMENDAM KEKECEWAAN. DIA HANYA MENATAP KEBERLALUAN JARKONI, SUAMINYA MENUJU KAMAR TIDUR.
SUNARTI MASIH MERENUNG DI KURSI GOYANGNYA. WAJAHNYA SEDIH PENUH KEKECEWAAN,  ENTAH YANG DIRASAKAN KEBENARAN ATAU KESALAHAN DIRINYA TERHADAP JARKONI, SUASANA HENING DAN  LAMPU PADAM PERLAHAN. GELAP SEJENAK.
SUNARTI :  Bagya, kamu bangunkan Bapak. Tadi Bapak berpesan saat zuhur
                    dibangunkan. Aku khawatir dia terlelap.
BAGYA    :  Baik, Bu. (BERGEGAS DARI DUDUKNYA MENUJU KE KAMAR TIDUR
                    JARKONI)
HANYA SEKEJAP BAGYA MASUK, TERDENGAR SUARANYA MELAFAZKAN  INALILAHI WAINALILAHI ROJIUN.
SUNARTI :  Aku sudah menduga sejak pertengakaran tadi. Firasatku benar
                     menyatakan ia kan meninggalkan aku.
BAGYA    :  (KELUAR DARI KAMAR) Bu, Bapak sudah tidak ada. Bapak sudah
                     pergi. Sekujur badannya dingin sya pegang tadi. Ibu yang sabar, ya.
                     Ibu yang tabah, ya. Saya segera memberi tahu putra-putri Ibu. Dan
                     saya juga akan memberi tahu tetangga serta pengurus mesjid.
SUNARTI :  (TIDAK BERGEMING DARI DUDUKNYA)
AIR MATANYA TERUS MENGALIR MEMBASAHI PIPINYA YANG KERIPUT. IA TIDAK BISA BICARA APA-APA. SEGALANYA TELAH TERJADI. IA HANYA BISA MERENUNGI KEJADIAN YANG BARU SAJA BERLALU.

Empat

SEUSAI MAGRIB. SUNARTI SEPERTI BIASA DUDUK DI KURSI GOYANG. SEMENTARA ITU MUNCUL BAGYA MENAWARKAN BANTUAN UNTUK MEMBUATKAN MINUMAN KESUKAAN MAJIKANNYA SETIAP SORE—SECANGKIR TEH MANIS HANGAT.
BAGYA    :  Ibu, mau saya buatkan teh manis hangat?
SUNARTI :  Terima kasih. Aku itidak ingin pakai gula.
BAGYA    :   Nanti pahit, Bu?
SUNARTI :   Biarkan saja.
BAGYA BERGEGAS MEMBUATKAN TEH HANGAT TANPA GULA. SEKEJAP SAJA DIA SUDAH KEMBALI DENGAN SECANGKIR TEH DI TANGANNYA.
BAGYA    :  Silakan diminum, Bu. Mumpung hangat. Dan cocok untuk
                    menenangkan hati, menyegarkan badan, dan pikiran yang selalu
                    menerawang.
SUNARTI :  Terima kasih Bagya. (MERAIH CANGKIR TEH YANG
                     DISODORKANNYA) Duduklah kamu di sini. Temani aku berbincang.
BAGYA    :  Baik, Bu. (MENGAMBIL POSISI AGAK JAUH DARI KURSI GOYANG)
SUNARTI :  Bagya. Aku yakin kamu merasakan apa yang aku rasakan saat ini.
                     Sebab kamu pernah mengalami hal yang sama.
BAGYA    :  Ya, Bu.
SUNARTI :  Berapa usiamu sekarang, Bagya?
BAGYA    :  33 tahun, Bu.
SUNARTI :  Cukup matang sebagai laki-laki. Sudah berapa tahun, ya kamu ikut
                     aku?
BAGYA    :  Hampir tiga tahun, Bu.
SUNARTI :  Istrimu di mana?
BAGYA    :  Maaf, Bu saya, kan pernah bercerita kalau saya sudah bercerai.
                     Karena istri saya tidak sanggup hidup bersama saya yang tanpa
                     pekerjaan tetap.
SUNARTI :  O, ya. Maaf. Maklumlah usiaku sudah senja. Lalu mengapa kamu pilih
                     pekerjaan supir dan sekaligus penjaga rumahku?
BAGYA    :  Laki-laki mana yang ingin pekerjaan seperti ini. Semua wanita pasti
                    menganggapnya rendah.
SUNARTI :  Tidak semua wanita, Bagya.
BAGYA    :  Tapi kenyataannya demikian, Bu.
SUNARTI :  Daripada tidak bekerja.
BAGYA    :  Betul, Bu. Akan lebih rendah martabat laki-laki jika ia tidak bekerja.
                    Laki-laki akan lebih terhormat, lebih terjaga martabatnya ketika dia
                    memiliki pekerjaan.
SUNARTI :  Bagaimana perasaan seorang laki-laki yang tidak bekerja.
BAGYA    :  Laki-laki yang mana, Bu?
SUNARTI :  Ada berapa laki-laki di dunia ini?
BAGYA    :  Ada tiga laki-laki, Bu. Pertama laki-laki pendaki yang senantiasa jiwanya
                    penuh dengan semangat hidup untuk memenuhi kebutuhannya, dan
                    kebutuhan pasangan hidupnya. Kedua laki-laki penikmat. Laki-laki yang
                    ingin tetap dihormati sebagai laki-laki tanpa harus banyak memikirkan
                    persoalan hidupnya. Baginya hari ini untuik hari ini. Hari esok itu soal
                    nanti. Dan yang terakhir laki-laki yang paling rendah derajatnya. Laki-
                     laki yang sering merampas hak orang lain tanpa mau bekerja. Dialah
                     laki-laki pecundang.
SUNARTI :  O, hebat sekali pemahamanmu. Kamu cerdas dan... lalu kamu
                     sendiri laki-laki tipe yang mana Bagya?
BAGYA    :  Terserah Ibu melihat saya dari sudut pandang mana.
SUNARTI :  (BANGKIT DARI DUDUKNYA. MELANGKAH MENUJU JENDELA)
                     Mas Jarkasi benar-benar hanya ingin membahagiakan aku. Dia tidak
                     ingin mengecewakan aku. Dia tidak ingin aku tersakiti. Meskipun Mas
                     Jar sendiri sudah tersakiti hatinya, jiwa raganya. Perasaannya.
                      Martabatnya. Wibawanya. Aku yakin bertahun-tahun dia memendam
                      kekecewaannya. Menekan perasaannya. Maafkan aku Mas.
BAGYA    :   Sudah Magrib, Bu. Biar jendelanya saya yang tutup.
SUNARTI :   Ini hari apa, ya?
BAGYA    :   Jumat, Bu.
SUNARTI :   Tanggal berapa?
BAGYA    :   30 Juni, Bu.
SUNARTI :  Berarti aku masih bisa bertemu dengan anak-anakku yang selalu
                     berjanji untukku.
BAGYA    :   Maksud Ibu?
SUNARTI :   Ramadhan hampir tiba.
BAGYA    :   Ooo.

LAMPU PADAM PERLAHAN. KESUNYIAN MAKIN SENYAP. SESENYAP BATIN SUNARTI MENANTI ANAK-ANAKNYA MENEPATI JANJI.

LAYAR TUTUP.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Potret Guruku Part 1

PROLOG SUASANA HENING. SUARA MUSIK LAMBAN DAN LAMAT-LAMAT TERDENGAR BERSAMAAN DENGAN SEBUAH PUISI TENTANG POTRET GURUKU DILANTUNKAN SESEORANG YANG SUDAH BERADA DALAM PANGGUNG. ”Dijemputnya pagi tanpa letih disapanya mentari tanpa pamrih menuju jalan berpangkal harapan anak-anak bermasa depan. Berbekal doa anak-istri disandangnya tas di bahu kiri tak ada lagi mimpi bersisa di dahi kedua kakinya jadi saksi bahwa hidup jangan menunggu sesuatu yang tak pasti. Berdiri tegap di depan kelas dengan suara lantang diajarkannya anak-anak menghitung bintang, melihat bulan, melihat matahari, melihat langit biru, melihat awan berarak, melihat gunung menjulang, melihat bukit berhimpit, melihat laut membentang, melihat gelombang pasang, melihat pantai membelai, melihat angin menderu, melihat burung berkicau, melihat pohon meliuk,  melihat daun gugur melayang tertelentang di tanah basah, melihat hujan deras, melihat badai mengganas, melihat malam temaram, meliha...

Abunawas Mencari Cinta

ABUNAWAS MENCARI CINTA Tales from the Thousand and One Nights OPENING: M USIK ARABIAN NIGHT TERDENGAR MENGIRINGI SEORANG SAHIBULHIKAYAT MASUK DENGAN POSTURE DAN GAYA SERTA DILENGKAPI KOSTUM TIMUR TENGAH YANG BERUSAHA MEMIKAT PENDENGAR CERITA. Di TANGANNYA TERLIHAT SEBUAH KITAB KUNO BERISI RIBUAN CERITA. DIA BERLENGGAK KE KIRI BERLENGGOK KE KANAN. MAJU-MUNDUR. CELINGAK-CELINGUK MENCARI SESUATU YANG AKAN DIJADIKAN SESUATU BAGINYA. SETELAH MERASA PASTI DIA BERUJAR: “Ini hanya sebuah dongeng. Sebuah cerita pelipur lara. Jenaka. Logika. Dan nyata bagi siapa saja yang dapat memahami ceritanya. Bagi yang tidak bisa memahami cerita ini, ML namanya (masalah elu). Dan bagi siapa saja yang tidak tertawa melihat kelucuan dalam cerita ini yang sebenarnya tidak lucu,  PL namanya (penderitaan elu).” LALU KATANYA: “Assalamualaikum. Wahai penonton, wahai pendengar. Ada sebuah cerita dari sekian cerita yang disampaikan dari lisan ke lisan, tentang istana kerajaan, tentang raja-ra...

Reuni Banci

REUNI BANCI PROLOG (SUARA MENGGEMA MEMBUAT BERGIDIK TIAP ORANG YANG BERIMAN MENDENGARNYA) AN-NUR : AYAT 1 S u ratun anzaln a h a wa faradn a h a waanzaln a f i h a a y a tim bayin a til la’alakum tazakkar u n “(inilah) suatu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukumnya), dan Kami turunkan di dalamnya tanda-tanda (kebesaran Allah) yang jelas agar kamu ingat.” AL-HUJURAT: AYAT 13 Ya ayyuhan-nasu inna khalaqnakum min zakariw wa unsa wa ja’alnakum syu’ubaw wa qaba’ila lita’arafu, inna akramakum ‘indallahi atqakum, innallaha ‘alimun khabir. “Wahai  manusia! Sungguh, Kami  telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. PUTARAN 1 REMBANG SENJA. HENING. SUASANA BEGITU MENCEKAM. SESAAT TERDENGAR D...