PROLOG
SUASANA HENING. SUARA MUSIK
LAMBAN DAN LAMAT-LAMAT TERDENGAR BERSAMAAN DENGAN SEBUAH PUISI TENTANG POTRET
GURUKU DILANTUNKAN SESEORANG YANG SUDAH BERADA DALAM PANGGUNG.
”Dijemputnya pagi tanpa letih
disapanya mentari tanpa pamrih
menuju jalan berpangkal harapan
anak-anak bermasa depan.
Berbekal doa anak-istri
disandangnya tas di bahu kiri
tak ada lagi mimpi bersisa di dahi
kedua kakinya jadi saksi
bahwa hidup jangan menunggu
sesuatu yang tak pasti.
Berdiri tegap di depan kelas
dengan suara lantang diajarkannya anak-anak menghitung
bintang,
melihat bulan, melihat matahari, melihat langit biru,
melihat awan berarak,
melihat gunung menjulang, melihat bukit berhimpit,
melihat laut membentang, melihat gelombang pasang, melihat pantai membelai,
melihat angin menderu, melihat burung berkicau, melihat pohon meliuk, melihat daun gugur melayang tertelentang di
tanah basah, melihat hujan deras, melihat badai mengganas, melihat malam
temaram, melihat siang benderang,
itu pasti.
Tapi, dengan suara yang dalam
tak pernah diajarkannya anak-anak melihat jerit batinnya,
terampas harapannya, tergadai impiannya dalam gelap malam, dalam alunan getir
gitar tua di tangan,
dalam derap langkah gerobak dagang kaki lima, dalam deru
menggebu putaran roda mesin kreditan tiap bulan, dalam pinjaman dana dengan
bunga ringan demi sandang, pangan, dan papan, yang berakhir pada sitaan.
Melangkah lamban di pinggir jalan
disandangnya keringat dan sisa debu di badan
tanpa beban sampai di rumah.
Dipandanginya anak dan istri penuh kasih sayang
sambil menyiapkan impian hari esok.
Halaman I SEBUAH REFLEKSI.
SESEORANG DUDUK DALAM
KEREMANGAN RUANG DAN SUASANA. DI TANGANNYA SEBUAH BUKU HARIAN TERBUKA. IA
MENATAP LURUS KE DEPAN. TAK LAMA IA MULAI MEMBUKA HALAMAN DEMI HALAMAN BUKU
HARIAN TERSEBUT: 1960-AN 1970-AN. GURU, PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. JASAMU TIADA
TARA.
Halaman II SELAMAT PAGI PAK GURU.
1980-AN. PAGI HARI: 05.30 AN.
PAK GURU BANGUN GEDEBAK-GEDEBUK
MENYIAPKAN DIRI UNTUK BERANGKAT MENUJU SEKOLAH TEMPAT KERJANYA. ISTRINYA YANG JUGA SEORANG GURU SELALU LEBIH
DULU BANGUN DAN MEMPERSIAPKAN SEGALA
SESUATUNYA SEBELUM BERANGKAT. PAK GURU SELALU INGIN BANGUN PAGI TAPI SELALU
SAJA SEBATAS MIMPI BANGUN PAGI—AGAK MALAS IA KETIKA DIBANGUNKAN ISTRINYA. JADI
RISIKO KESIANGAN SELALU TERJADI. PRINSIPNYA, AKU TIDAK TERLAMBAT HADIR DI
KELAS. TOCH AKU TIDAK MENGAJAR PADA JAM PERTAMA. PAK GURU MENIKMATI SETIAP WAKTUNYA TERSITA OLEH MIMPINYA. DAN IA HARUS TERSENYUM DAN SELALU TERSENYUM SETIAP PAGI, SIANG, DAN SORE HARI
SERTA MEMBALAS UCAPAN SALAM KETIKA BERTEMU DENGAN ORANG YANG MENEGURNYA MESKI
TERLAMBAT HADIR DI SEKOLAH.
ORANG 1 : Selamat pagi, Pak Guru!
PAK GURU : Selamat pagi, Pak
Buyung!
ORANG 2 : Selamat siang, Pak Guru!
PAK GURU : Saya kesiangan.
Hagh, susahnya...bangun ... pagi!
Halaman III SELAMAT SORE PAK GURU.
PAK GURU BERJALAN KAKI PULANG
DARI SEKOLAH USAI MENGAJAR. TEGUR SAPA PENUH HORMAT MASIH TERDENGAR DAN ITU
CUKUP MENGHAPUS RASA PENAT DAN LETIH—DAN ITU BERLANGSUNG SETIAP HARI, SETIAP
SAAT, SETIAP LINTASAN. BEGITU HORMATNYA MEREKA TERHADAP GURU. BEGITU SEGANNYA
MEREKA TERHADAP GURU. PAK GURU BEGITU BANGGA. BETAPA SENANGNYA IA MENJADI GURU.
SUMRINGAH DI WAJAHNYA MENGGAMBARKAN SEMUA SUKA CITANYA MENJADI GURU.
ORANG 3 : Selamat sore, Pak Guru!
PAK GURU : Selamat sore, Mpok
Indun!
ANAK-ANAK : Selamat sore Pak Guru!
PAK GURU : Selamat sore anak-anak. Bermainlah yang puas. (MENENDANG
BOLA YANG DIARAHKAN
ANAK-ANAK KEPADANYA)
Halaman IV BUKAN HARI BIASA
PAK GURU.
PAGI HARI. SEPERTI BIASA PAK
GURU BERGEGAS DAN TERGESA-GESA BERANGKAT KE SEKOLAH. DAN SEPERTI BIASA
ORANG-ORANG SEKITAR PEDULI KEPADANYA MELALUI SAPAAN. PAK GURU TIDAK TAHU HARI
YANG DIJALANINYA TIDAK SEPERTI BIASANYA—HARI MINGGU.
ANAK-ANAK : Pak Guru! Pak Guru!
PAK GURU : Ada apa anak-anak!
ANAK-ANAK : Pak Gurru mau ke mana? Kok pagi-pagi sekali sudah berangkat!
PAK GURU : Ya, ke sekolah dong. Pak
Guru tidak mau kesiangan lagi, dan lagi!
ANAK-ANAK : (TERTAWA) Ini, kan hari
minggu Pak Guru!
PAK GURU : (MENEPUK DAHI) Ya,
Allah! Kenapa istriku tidak bilang! (BICARA
SENDIRI
HAMPIR TIDAK TERDENGAR) Terima kasih anak-anak,
Pak Guru mau ke sekolah karena ada tugas
tambahan dari Kepala
Sekolah.
EXIT.
Halaman V SEBUAH RUMAH TANGGA PAK GURU.
DI RUMAH PAK GURU. SORE HARI. PAK GURU BERGEGAS KE SEKOLAH UNTUK MELATIH
SISWA-SISWINYA BERTEATER.
ISTRI:
Ini hari minggu. Mau ke mana lagi. Tidak capek enam hari kerja.
PAK GURU:
Sudah kewajiban.
ISTRI:
Kewajibanmu hanya senin sampai sabtu. Minggu itu milikku.
Milik kita. Tidak mengertikah.
PAK GURU:
Kau yang harus mengerti. Aku memiliki sesuatu yang tidak dimiliki setiap
guru.
Dan ini aku sumbangkan untuk anak-anak bangsa yang membutuhkan,
murid-muridku. (MENGAMBIL TAS RANSEL)
kau tahu mereka
bagai anak-anak panah yang menunggu dilepas dari busur-busur pemanahnya. Mereka
bagai tonggak-tonggak kuat yang siap ditancapkan di bumi persada ini. Dan
mereka bagai botol-botol kosong yang menunggu diisi pemiliknya. Tapi bila mereka
tidak siap aku khawatir mereka akan jadi tong-tong kosong penunggu
sampah-sampah dituangkan. Pahamkah itu?
ISTRI:
Aku tidak
pernah mengerti dan tidak akan pernah mengerti. Karena aku bukan seniman, aku
bukan sastrawan. Aku hanya seorang guru Es De.
PAK GURU:
Hanya guru Es De katamu. (TERSENYUM SINIS) Ini. Inilah kesalahan yang
tidak pernah disadari oleh sekian banyak orang yang sudah memilih profesi guru
sebagai pekerjaan. Mereka belum atau tidak komitmen menjalankan tugasnya.
ISTRI:
Sudahlah, aku makin pusing mendengarkan ceramahmu setiap aku menuntut
perhatianmu.
PAK GURU:
Seharusnya dia bangga memiliki seorang suami seperti aku. (BERGAYA
NARSIS) atau memang aku yang salah terlalu banyak aku membagi cintaku untuk
istri dan murid-muridku. Akh, entahlah.
EXIT
Halaman VI SUBUAH PERBINCANGAN TENTANG PAK GURU.
DI RUANG GURU. TAMPAK PAK BAPER, PAK GABUT, BU BAWELAWATI, DAN BEBERAPA
GURU SEDANG MEMBICARAKAN PAK GURU. MEREKA SEPERTINYA TIDAK MNEYUKAI SOSOK DAN
GAYA PAK GURU DALAM SEGALA HAL.
PAK BAPER:
Saya teh, kurang suka dengan gaya Pak Guru, ya. Sok idealis.
Sok moralis. Sepertinya tidak butuh uang.
PAK GABUT:
Ya. Aku juga berpikiran sama seperti kau Pak Baper. Buat aku yang
penting
murid itu dapat nilai bagus. Naik kelas. Atau lulus. Selesai.
Bukan tanggung jawab kita lagi...
BU BAWELAWATI:
Hey, Pak Gabut! Kok begitu bicaranya. Ingat loh kita ini guru.
PAK GABUT:
Lah, yang bilang kita ini pegawai kelurahan, siapa? Kita memang
guru. Tapi, kita boleh, kan menyampaikan aspirasi.
GURU-GURU:
Jangan
provokasi atau juga agitasi! Kita abdi negeri
Mengajar tanpa
tendensi.
BU BAWELAWATI:
Betul. Guru tidak boleh berprovokasi atau memprovokasi
PAK BAPER:
Ya. Saya setuja. Bukan setuju lagi dengan Pak Gabut. Bahwa seorang guru
itu perlu dan wajib beraspirasi dan menyampaikan aspirasi. Saya teh, orangnya gampang tersinggung kalau
jadi Pak Gabut.
BU BAWELAWATI:
Hey, Pak Baper
kalau memberi pendapat jangan ngasal.
Jangan main setuja-setuju, setuja-setuju. Memangnya kamu itu sudah
benar ngajarnya? Sudah benar jadi guru. Ngajar anak sering marah dan
tersinggung.
PAK BAPER:
Iiihh, Bu Bawelawati. Kok jadi marah kepada saya?
Saya teh, orangnya
gampang tersinggung.
PAK GABUT:
Ala mak,
bagaimana pula ini! Orang beraspirasi dibilang provokasi.
Orang
beragitasi harus pakai basa-basi. Yang mana
yang benar?
PAK BAPER:
Batul itu Pak Gabut. Ya. Saya setuja. Bukan setuju lagi dengan Pak
Gabut.
Bahwa seorang guru itu harus dan wajib beraspirasi dan untuk menyampaikan
Aspirasi perlu adanya agitasi tidak perlu pakai basa-basi.
Saya teh, orangnya gampang tersinggung.
GURU-GURU:
Ala mak ala mak Pak
Gabut marah. Ala mak ala mak Pak Baper resah.
EXIT
Halaman VII ROMAN DAN CINTA TERLAMBAT LAGI.
SEPASANG REMAJA BERLARIAN
BERTEMU SATU DALAM DEBAR JANTUNG YANG SAMA. DALAM TATAP YANG SAMA. DALAM
GENGGAM TANGAN YANG SAMA. DALAM REMASAN JARI-JEMARI YANG SAMA. DALAM SENYUM
YANG SAMA. DALAM BICARA MASALAH YANG SAMA:
ROMAN – CINTA
Kita terlambat lagi...
SATPAM 1
Hey, terlambat lagi aja nih, anak! Kebiasaan. Mau belajar apa mau
pacaran?
ROMAN – CINTA
Ya, pacaran — ya belajar
CINTA
Ich, Roman...
SATPAM 1
Yeee, gak kompak nih. Yang bener yang mana? Pacaran apa belajar?
ROMAN – CINTA
Kasih tau nggak ya.
SATPAM 1
Jangan kasih tau, kasih gua apa kek...
ROMAN – CINTA
Nah, sudah mulai main sogok nih.
ROMAN
Pilih dipecat
CINTA
apa...bukain pintu buat kita?
SATPAM 1
Ach, main ancam lagi.
ROMAN – CINTA
Terserah, rekamannya sudah ada.
SATPAM 1
Ya, ya, gua bukain.
ROMAN
Nah gitu dong, baru satpam gaul
CINTA
Muaahh, maacih, ya.
SATPAM 1
Ach, berengsek! Dikerjain bocah lagi gua. Apes dach.
TAK LAMA DARI ITU MUNCUL
KOPLAK. SEBAGAI SESAMA SATPAM YANG MERASA PRIHATIN MELIHAT KOPLOK TEMANNYA
DIPERMAINKAN OLEH SISWA
SATPAM 2
Kenapa, Pluk? Ente dimainin lagi, ya sama itu bocah-bocah?
SATPAM 1
Ya, itu si Roman sama si Cinta ngerjain ane.
SATPAM 2
Lach itu bocah, kan telat mulu. Bapak-ibu guru juga pada tau itu.
Ente dikerjain, ya?
SATPAM 1
Yaelah, kan, tadi ane udah ngomong Koplaaaakkkkk.
SATPAM 2
Maksudnya tuch bocah perlu dikasih pelajaran.
SATPAM 1
Yailah...yang ngasih pelajaran tuch bapak-ibu guru, bukan kita, koplak.
SATPAM 2
Bonan. Bodo nanan. Kaga urus gua.
(SAMBIL NGELOYOR NINGGALIN KUPLUK YANG BENGONG-BENGONG)
SATPAM 1
Bener-bener koplak ye, belum selesai bicara, die ngeloyor ninggalin
gua. Kampret. Bodo amat, mendingan gue ngurusin kerjaan.
EXIT
Halaman VIII UPACARA SEENAKNYA.
DI LAPANGAN HALAMAN SEKOLAH TAMPAK SISWA-SISWI
DIKUMPULKAN UNTUK MENGIKUTI UPACARA
MINGGUAN YANG DILAKSANAKAN TIAP SEKOLAH. SULIT SEKALI BAPAK –IBU GURU
MENGUMPULKN,MEMANGGGIL, MENGGIRING SISWA-SISWINYA UNTUK MENGIKUTI UPACARA.
DENGAN TIDAK KEHABISAN IDE DAN STRATEGI BAPAK-IBU GURU MENGAJAK SISWA-SISWINYA
DENGAN ISTILAH UPACARA SEENAKNYA.
”Ayo, anak-anak upacara!”
”Bebas kok! Tidak tegang dan
tidak melelahkan!”
”Santai saja! Ayo semua ke
lapangan.”
PAK GURU TERLIHAT
GELENG-GELENG KEPALA. DIA PRIHATIN MELIHAT SEORANG GURU MENGAJAK SISWA-SISWINYA
UPACARA DENGAN CARA YANG KURANG ETIS.
PAK GURU
”Ini tidak bisa dibiarkan. Kasihan mereka. Mereka generasi penerus
bangsa,
kenapa harus dirusak dengan cara yang rendah sekali
oleh bapak-ibu gurunya sendiri. Ini harus dihentikan.
Aku sudah mencoba dengan
strategi yang benar dan tepat,
kenapa mereka tidak mendukungku.”
—Upacara Seenaknya
Barisan disiapkan
seenaknya
pemimpin upacara
memasuki lapangan upacara seenaknya
upacara segera dimulai
seenaknya.
Pembina upacara menaiki
podium upacara seenaknya
dan pasukan pengibar
bendera bergerak maju jalan seenaknya
dan bendera dinaikkan
seenaknya
dan lagu Indonesia Raya
dilantunkan seenaknya
dan mengheningkan cipta
dilakukan seenaknya
dan pembacaan teks Pancasila
diikuti seenaknya
dan Undang undang Dasar
45 dibacakan seenaknya
dan amanat pembina
upacara disampaikan seenaknya
KEPALA SEKOLAH:
“Jadi sekali lagi anak-anakku.
Janganlah kalian malas untuk mengikuti upacara. Sebab upacara ini adalah milik kalian.
Jadi jangan terlalu tegang dalam upacara. Santai saja. Apa itu istilahnya
woles, woles, woles. Nikmati saja upacara kalian. Kalian tidak boleh dipaksa
dan terpaksa untuk mengikuti upacara.”
(SUARA HP KEPALA SEKOLAH
BERDERING. SESAAT MASIH DALAM AMANAT PEMBINA UPACARA KEPALA SEKOLAH MENGANGKAT
DAN MENERIMA
PANGGILAN DARI HP-NYA).
Sebentar, ya. Ya, hahaha kabar
baik. Yach sehat-sehat saja. Waw kejutan itu.
Yach, ya, ya, saya dukung, dan
saya sangat setuju.ya, baik saya tunggu di sekolah.
Ok, langsung saja ke ruangan
saya.
dan suara riuh gemuruh
siswa
kasakkusuk gerutu siswa
bisak-bisik guru tak
menentu
cengangas cengenges
karyawan sekolah
lalu lalang pesuruh
sekolah
terlihat seenaknya
dan doa penutup upacara
dipanjatkan seenaknya
dan peserta upacara
dibubarkan seenaknya
upacara seenaknya pun
selesai seenaknya.
EXIT
Halaman IX PAK GURU MENGHADAP KEPALA SEKOLAH.
DI RUANG KEPALA SEKOLAH. TAMPAK PAK GURU DAN KEPALA
SEKOLAH SEDANG BERBINCANG DAN KELIHATANNYA MEREKA BERSITEGANG.
PAK GURU
Seharusnya bapak kepala sekolah yang terhormat tidak berkata dan
bertindak demikian dalam upacara. Ini kegiatan resmi, Pak. Formal. Dan
ini lingkungan pendidikan, Pak. Bukan rumah Bapak.
Lagi pula Anda pemimpin. Anda
nahkoda di kapal ini. Apa pun tujuan Anda,
ke mana arah Anda akan kami
dukung,
asalkan Anda mendiskusikan dulu dengan kami sebagai guru, bawahan Anda.
KEPALA SEKOLAH
Beraninya Anda berbicara begitu Pak Guru. Anda tidak patut menasihati
saya.
Saya pimpinan di sekolah ini.
PAK GURU
Saya tidak menasihati Bapak Kepala yang terhormat.
Saya hanya mengingatkan pemimpin yang lupa akan kedudukannya,
lupa dengan tugas dan tanggung jawabnya.
KEPALA SEKOLAH
Sudah! Sudah! Saya tidak mau mendengar Anda berbicara lagi!
Bersiap-siap saja dalam minggu-minggu depan Anda tidak di sekolah ini lagi.
Sudah banyak catatan Anda pada saya. Anda sok moralis.
Anda pemberontak. Anda provokator bagi murid-murid di sini.
PAK GURU
Dengan kata lain saya dimutasi atau dipecat?
KEPALA SEKOLAH
Anda lupa? Sekali lagi saya ingatkan. Saya pimpinan di sekolah Ini.
Jadi saya mau bertindak apa saja bukan urusan Anda.
PAK GURU:
Bapak yang lupa. Bapak tidak berhak memecat saya.
Ini sekolah separuh negeri separuh swasta.
KEPALA SEKOLAH
Loch, kok bisa begitu.
PAK GURU:
Katanya kepala sekolah, masalah begini saja tidak tahu,
atau jangan-jangan Bapak juga separuh kepala sekolah separuh...
KEPALA SEKOLAH
Separuh apa? Sekarang Anda keluar!
PAK GURU
Dengan iklas dan bangga saya menerima pemecatan ini. Tapi setidaknya
Anda melakukan dengan cara yang terhormat. Saya bukan pedagang kaki lima, saya
bukan pedagang asongan, yang digusur dan diusir seenaknya oleh satpol Pe Pe.
Dan saya bukan pesuruh Anda. Semua ada prosedurnya.
Segera buatkan saya surat pemecatan! Kalau bisa.
KEPALA SEKOLAH
Cukup! Cukup! Tinggalkan ruangan ini!
EXIT
Halaman X SEGAMBARAN PELAJAR YANG TAWURAN.
DI JALAN. DI BAWAH FLY OVER.
DI JEMBATAN. DI LAMPU MERAH. DI PERBATASAN WILAYAH. DI STASIUN. DI MALL. DI
TEMPAT-TEMPAT YANG KONDUSIF UNTUK MELEPAS GEJOLAK. UNTUK MELAMPIASKAN AMARAH.
UNTUK MEMAMERKAN EMOSI. MEREKA: SISWA—GENERASI MUDA—KORBAN PELECEHAN BUDAYA
DEMI PUNDI-PUNDI DEVISA—GENERASI ANOMALI, BERSEDIA TAWURAN SEBAGAI IDENTITAS
JATI DIRI ANAK BANGSA YANG KEHILANGAN JIWA NASIONALISNYA YANG KEHILANGAN RAGA
KEBANGSAANNYA. RELA TAWURAN KAPAN SAJA DI MANA SAJA SEJAK SIANG HINGGA PETANG
DI JALAN YANG STRATEGIS DENGAN KERAWANAN. MASYARAKAT, DAN ORANG-ORANG YANG ADA
DI TKP MENCOBA MELERAI. NAMUN APA DAYA MEREKA—MEREKA TAKUT TERKENA SASARAN—SISWA
GENERASI MUDA YANG BERANI MENGGUNAKAN SENJATA TAJAM DAN SEJENISNYA. MEREKA
MEMBAWA PERKAKAS BENGKEL, RANTAI, GESPER BERKEPALA, DAN SEBAGAINYA DEMI MEMICU
KEBERANIAN DAN PERCAYA DIRI MEREKA BAHWA ’MEREKA HEBAT’.
”serang! bantai! kalahkan dan
taklukkan mereka!” dan kata-kata teriakan lainnya—apa saja pokoknya menjadi penyemangat situasi
dan kondisi tawuran.
”Di sini kita berlagak
hebat! Di sini kita berlagak kuat! Sikat kiri, sikat kanan, hantam kiri, hantam
bawah, terjang! Serang! Yeahhh!”
”Polisi, polisi! Woy,
dae polis! Bacut! Pencar!”
POLISI BARU DATANG. SEMENTARA
TAWURAN SUDAH BERKLIMAKS. SEBAGIAN ORANG MENGGERUTU KARENA AKAN USAI TONTONAN.
SEBAGIAN ORANG LAGI BERSYUKUR KEAMANAN TELAH DATANG. SEBAGIAN LAGI SOK MENJADI
INFORMAN. APARAT KEWALAHAN. NAMUN DENGAN SEGENAP TENAGA DAN TANGGUNG JAWAB
TERHADAP MORAL ANAK BANGSA, MEREKA TETAP BERJUANG MENGHENTIKAN TAWURAN DAN
MENINDAK BEBERPA PELAJAR YANG TERLIHAT SEBAGAI PROVOKATOR.
ORANG 1: Woy! Berhenti! Jangan
berkelahi
ORANG 2: Alaaahh, mana mempan mereka
dengan larangan.
ORANG 1: Kalau begitu kita hantam saja
mereka biar berhenti!
ORANG 3: Jangan! Sabarlah! Nanti juga
mereka berhenti!
ORANG 4: Hey, luch menikmati tawuran
ini, ya!
ORANG 2: Saya hanya usul. Kita hajar
mereka dengan cara yang ampuh.
ORANG 1: Biar kapok maksudnya.
EXIT
Halaman XI ROMANTIKA ANAK SEKOKAH.
SEBUAH DESKRIPSI SUKA-SUKA
BUKAN CINTA MENDALAM DI ANTARA MEREKA: ROMAN SUKA CINTA, CINTA SUKA ROMAN—ORANG
TUA CINTA TIDAK SUKA CINTA SUKA ROMAN. DENGAN ALASAN STATUS SOSIAL DAN EKONOMI
ROMAN JAUH DI BAWAH ORANG TUA CINTA. SEMENTARA JONGGI SUKA MARKONA, MARKONA
SUKA ROMAN. BRAM SUKA CINTA, CINTA HANYA SUKA ROMAN.
ROMAN:
Cinta, jujur ya, aku...tidak sanggup menceritakan yang sebenarnya.
Aku khawatir kamu tersinggung. Jadi aku berharap sebaiknya kita sudahi
saja.
Jauhi aku, dan lupakanlah.
CINTA:
Roman! Ada apa sich, sebenarnya? (MENATAP DALAM) Ouhc, aku tau.
Pasti ini semua ulah mama dan papa.
Mereka menegur dan mengancam kamu, kan?
ROMAN:
Nggak, Cinta. Mereka baik-baik saja, kok.
CINTA:
Nggak mungkin. Pasti, pasti, mereka menegur kamu lagi!
ROMAN:
Cinta, kita memang nggak pantas bersatu. Ibarat bumi dan langit.
Mereka ingin yang terbaik buat kamu. Sudahlah perjalanan hidup kita
masih panjang, kok. Andai memang kita berjodoh, pasti kita dipertemukan lagi.
Aku yakin itu.
CINTA:
Nggak, Roman! Biar aku yang bicara kepada mereka. (BERGEGAS PERGI)
ROMAN:
Cinta! Cinta!
Dengar aku dulu! Dengarlah kata-kataku, dengarlah suara hatiku, itulah rasa
cintaku, padamu.
CINTA:
Aku tau itu. Betapa
sakit hatiku. Betapa hancur jiwaku. Mengapa lara selalu mendekatiku. Dan cinta
tak pernah terpadu. Aku tidak mau menunggu yang tidak menentu. (BERLALU MENINGGALKAN ROMAN)
ROMAN:
Cinta! Cinta! Tunggu!
TIBA-TIBA MUNCUL MARKONA YANG
OKB ORANG TUANYA. FADE IN—FADEOUT : ”Markona itulah nama aslinya. Ibunya
orang kaya baru saja. Gayanya seperti artis Madona. Kalau berjalan bikin
tertawa hahaha.” MARKONA JATUH CINTA JUGA KEPADA ROMAN. SECEPAT KILAT
MARKONA SUDAH DI SAMPING ROMAN.
MARKONA:
Roman ada apa dengan cinta!? Putus, ya? Aku siap, kok gantikan Cinta!
ROMAN:
Bodo amat!
(BERLALU BEGITU SAJA TANPA MENOLEH KE ARAH MARKONA)
MARKONA:
Yach, co cuiit, kok, gitu sih!
JONGGI TIBA-TIBA SAJA MUNCUL DI HADAPAN MARKONA.
JONGGI:
Kamu, kenapa sayang? Kok, teriak-teriak gitu! Dicuekin Roman, yach?
MARKONA:
(DIAM TAK PEDULI. PANDANGANNYA MASIH JAUH MENELUSURI ROMAN)
JONGGI:
Sore nanti mau ke mana? Ke salon, ya?
MARKONA:
Pruut! (MENCIBIR) Ich, sembarangan lu!
JONGGI:
Atau ke cafe?
MARKONA:
Kepo banget sech!
JONGGI:
Atau dagang, ya.
MARKONA:
Nggak lucu tau!
JONGGI:
Atau ke klinik, ya?
MARKONA:
Ech, kurang ajar!
JONGGI:
Ajarin aku dong, sayang. Aku, kan be te: butuh tati tayang tamu!
MARKONA:
Eh, Jonggi ay kyu jongkok! Jangan sok tau, ye.
Emang gue mau ngapain ke klinik? Aborsi? Kagak maen eke, tau!
JONGGI:
Marko, ngapain sich, kamu cari Roman? Di sini ada Jonggi.
Laki-laki tapanuli yang selalu setia menanti. tengoklah ke sini!
Cintaku bukanlah
sekedar nafsu tuk memilikimu,
aku di sini
menantimu meski kau benci.
Dan hidupku tiada arti tanpamu!
MARKONA:
Ech, Jonggi sayang! Ngaca dulu lah. Gue kagak level sama luch!
JONGGI:
Hey, Marko! Aku ini anak orang kaya!
Bapakku raja kepala ech, kelapa di sumatra. Kebunnya di mana-mana ada.
MARKONA:
Norak, lu! Iiiiichhh, cik icik icik waw, cik icik icik waw, cik icik
icik waw!
FADE IN—FADEOUT : ”Markona itulah nama aslinya. Ibunya orang kaya
baru saja. Gayanya seperti artis Madona. Kalau berjalan bikin tertawa hahaha.” (BERLALU
MENINGGALKAN JONGGI YANG TERMANGU, TAPI CEPAT MENGUBAH TERSENYUM)
JONGGI:
Ala Ma, dia belum
takluk juga sama aku.
Cemana pula diri
ini membawa cinta yang tak pernah berlabuh di hatinya.
CINTA YANG MENINGGALKAN ROMAN
DUDUK SENDIRI DI TAMAN SEKOLAH. HATINYA GUNDAH. IA HANYA BISA MENANGIS. TAK
BERDAYA DALAM KUASA ORANG TUA.
BRAM:
Kamu nungguin Roman, ya, Cin? Pasti dia nggak datang, lah!
Dia terlalu sibuk sama teman-teman OSIS-nya. Sudah pulang bareng aku
saja! Kubonceng kau dengan mogeku!
CINTA:
Bram, mau moge, kek, mau mocil, kek, aku tetap nungguin Roman.
Kamu tau Bram? Selama aku kenal cowok-cowok tampan, aku sudah banyak
tabungan janji gombal seperti yang kamu nyatakan ke aku.
BRAM:
Kok, gitu Cin? Aku cinta padamu, sungguh, aku sayang padamu,
sungguh,
aku janji padamu...
CINTA:
Kamu mau janji apa Bram? Roman sudah mengisi tiap relung hatiku.
Pergilah, Bram! Pergilah,
Bram! Jangan ganggu aku lagi!
BRAM:
Aduh, aduh, Cinta, jangan berkata begitu! Aku bukan pria janji gombal.
Beri aku di ruang hatimu!
CINTA:
(HANYA TERSENYUM LALU PERGI)
BRAM:
Ok, Cinta ku akan tetap menunggumu! Menunggumu! Menunggumu!
DI SUDUT LAIN ADA SITI BERAHI
YANG SELALU BERGEJOLAK DAN RESAH SENDIRI MENAHAN RASA CINTANYA KEPADA BRAM
SRI BERAHI:
Ouuuh, teman-teman! Aku bisa nggak sih dapatkan Bram.
Dia cowok tipe aku.
KELOMPOK BAHASA:
Dicoba,
cicoba dicoba aja! Dekati, dekati, dekati dia!
Sana dekati dia mumpung dia lagi sendiri.
SRI BERAHI:
Aku takut dia menolak kehadiranku.
KELOMPOK BAHASA:
Alah-alah Sri
Berahi. Sok jaga diri. Padahal dia ahli...nyaaaaaa
SRI BERAHI:
Kok, kalian mengolok-olok aku saja, sech. Aku kan gengsi sebagai
wanita.
KELOMPOK BAHASA:
Alah-alah Sri
Berahi. Sok jaga gengsi. Dia cuma basa-basi!
SRI BERAHI:
Iya dech aku coba deketin, ya.
KELOMPOK BAHASA:
Nah, gitu dong. Itu namanya anak Ka Be, anak Ka Be, anak Ka Be!
(SRI BERAHI PERLAHAN DENGAN GAYA ALA ARTIS HOLYWOOD MENGHAMPIRI BRAM
YANG DUDUK MERENUNG.)
SRI BERAHI:
Bram, Bram! Kamu sendiri, ya? Boleh nggak Sri temani?
BRAM:
(BRAM TIDAK MENOLEH
SEDIKIT PUN. IA TETAP SAJA
BERNYANYI DENGAN
GITARNYA)
Jauh-jauh begini
merantau. Kejar cita-cita dan impian.
cinta ditolak
hatiku rusak
SRI BERAHI:
Kan, masih ada aku Bram
BRAM:
Sri, Sri, kau memang mengundang berahiku tapi aku lagi BM.
SRI BERAHI:
Apa itu BM, Bram?
BRAM:
(BERTERIAK SAMBIL MENINGGALKAN SRI BERAHI)
Katanya anak gaul BM aja kagak tau! Badmood!
SRI BERAHI:
Iiiichhh, kok, Bram kasar sih. Mentang-mentang Sri anak pengusaha pecel
lele ya. Hugghhh, Sri mau protes sama ayah-bunda supaya nggak usaha pecel lele.
Sri bakal suruh ayah-bunda jadi pengusaha pecel macan aja,
biar cowok pada nggak nyepelein Sri (MENIRUKAN AUMAN MACAN)
SEMENTARA KELOMPOK BAHASA
MENGENDAP-ENDAP MENINGGALKAN TAMAN SEKOLAH TAKUT DIKETAHUI SRI BERAHI YANG
KECEWA OLEH BRAM.
EXIT
(dilanjutkan di post berikutnya)
(dilanjutkan di post berikutnya)
Komentar
Posting Komentar