Langsung ke konten utama

Pak Guru Bermimpi Lagi

PROLOG

SEORANG GURU DENGAN PAKAIAN SERAGAMNYA MUNCUL DI ANTARA CAHAYA REDUP. BERDIRI DALAM KETIDAKPASTIAN RUANG YANG MENGUNGKUNGNYA UNTUK MENERIMA NASIB YANG ENTAH ADIL ATAU TIDAK SEBAGAI PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. SEBAGAI FIGUR YANG HARUS MENJADI TELADAN BAGI ANAK-ANAK DIDIKNYA, GENERASI PENERUS BANGSA DAN NEGARA. FIDUR YANG HARUS ’BERANI’ DAN ’BERTANGGUNG JAWAB’ DALAM MENGHADAPI TANTANGAN ZAMAN. TAPI BOLEHKAH IA BERTANYA UNTUK MEYAKINKAN DIRINYA SEBAGAI PRIBADI MANUSIA PILIHAN DI ANTARA PRIBADI-PRIBADI MANUSIA YANG SEENAKNYA MEMBOLAK-BALIKKAN TELAPAK TANGAN DAN MEMAINKAN JARI TELUNJUKNYA?
Tuhan aku mau bertanya profesi mana yang lebih dihargai,
Guru atau dokter?
Tugas mana yang lebih mulia
Guru atau tentara?
Kedudukan mana yang lebih tinggi,
Guru atau anggota DPR?
Jabatan mana yang lebih dihormati,
Guru atau menteri?
Tanggung jawab mana yang lebih berat,
Guru atau presiden?
Kalau profesi guru yang lebih dihargai, kalau tugas guru yang lebih mulia,  
kalau kedudukan guru yang lebih tinggi, kalau jabatan guru yang lebih dihormati,
kalau Tanggung jawab guru yang lebih berat,
Mengapa Kaubiarkan mereka menempatkan aku dalam saku baju, dalam plastik kresek, dalam bingkisan kado, dalam lingkaran cincin emas, dalam ikatan jam di tangan, dalam amplop perjanjian naik kelas, dalam sebungkus nasi padang, dalam sebungkus Gudang garam atau Jarum filter,
Mengapa Kau biarkan mereka mendorong aku ke bibir sumur kegelapan dalam kegelisahan terdalam selama perjalanan waktu menuntut,
Tuhan, aku mau bertanya sampai di mana aku Kaubawa pada batas waktu-Mu?
PERLAHAN SEORANG GURU KELUAR DARI LINGKARAN CAHAYA REDUP YANG MENGIKATNYA BEBERAPA MENIT SEHINGGA RUANGAN LENGANG SESAAT. DAN DIA MASUK KE DALAM MIMPINYA SENDIRI YANG TAK PERNAH BERUJUNG PADA KENYATAAN HIDUP YANG SEBENARNYA.

Satu
SEBUAH RUANG DALAM RUMAH PETAK KONTRAKAN YANG TERBAGI ATAS RUANG TAMU, RUANG TIDUR DAN  RUANG MANDI. NURDIN LUBIS, SEORANG GURU HONORER DI SEBUAH SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI YANG BERUSIA TIGA PULUH TIGA TAHUN, DAN SUDAH MENGAJAR SELAMA 11 TAHUN, NAMUN BELUM JUGA DIANGKAT SEBAGAI PEGAWAI NEGERI, SELALU BERMIMPI TENTANG NASIBNYA SEBAGAI GURU. DIA MEMPUNYAI SEORANG ISTRI YANG BERHENTI BEKERJA KARENA KEMAUANNYA SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA YANG BERTANGGUNG JAWAB.
DIA SERING BERMIMPI. MIMPI-MIMPINYA SELALU TERPENGGAL KARENA SAAT DIA AKAN MENCAPAI KLIMAKS DARI MIMPI ITU DIA SELALU TERBANGUN. SAMPAI IA BERANGGAPAN BAHWA DIA SELALU DIPERMAINKAN OLEH MIMPI-MIMPINYA.
NURDIN  : (TERBANGUN DARI TIDURNYA NAFAS TERENGAH-ENGAH) 
Akh, ekhhhh, mimpi. Hanya mimpi. Ternyata gagal lagi. Kapan aku bisa menjadi pegawai negeri kalau mimpiku selalu terpenggal. Aku harus tidur lagi agar aku dapat mengejar mimpiku itu.
NURDIN MENENGGELAMKAN KEMBALI TUBUHNYA KE DALAM RANJANG MIMPINYA.

Dua
SEPERTI BIASANYA TERIAKAN ISTRINYA KALAU MEMBANGUNKAN SELALU MEMBUATNYA KAGET DAN JANTUNGNYA SERASA COPOT DARI TEMPATNYA. TAPI DIA SELALU MENERIMA KENYATAAN ITU BAHWA INTAN, ISTRINYA SEBENARNYALAH TERAMAT SAYANG KEPADANYA
INTAN  :    Bang! Abang! Bangunlah, Bang! Berkali-kali Intan teriak tak juga
                  Abang bangun! Bagaimana mau jadi pegawai negeri, masih honerer
                  saja kau sudah melanggar, Bang! Kecewalah aku. Ternyata tak bisa
                  dipegang  janji-janji kau, Bang. (BERBICARA MENIRUKAN) :
                  ”Tenanglah, Dik. Nanti  kalau aku sudah PNS, aku tak akan seperti ini
                  lagi. Aku akan bangun  pagi. Aku akan tepat waktu ke kantor. Aku akan
                  pulang tepat waktu. Dan semua gajiku setiap bulan akan aku serahkan
                   
                  sepenuhnya. Tapi  aku hanya minta dibelikan sebungkus rokok saja.
                  Itu saja sudah cukup,  Dik.” Ah, banyak kali janji kau, Bang,  Aku jadi
                  tambah pusing.
NURDIN :  Mengapa, kau, Dik? Sepertinya kau bicara sendiri?
INTAN   :  (BERSUNGUT SAMBIL BERANJAK DARI KURSI) Iyalah, Bang. Aku
                   bicara sendiri dan kujawab sendiri pula.
NURDIN :  Hey, ada apa lagi ini! Istriku pagi-pagi sudah bersungut. Tak baik itu.
                  Jauh rejeki kita.
INTAN   :  Memang makin jauh rejeki kita, Bang!
NURDIN :  Jauh bagaimana? Kau tidak lihat, Dik, kita masih diberi tempat tinggal
                  ini meskipun rumah kontrakan? Kau tidak merasa, kita masih diberi
                  hidup. Kita masih diberi kesempatan menikmati panasnya matahari,
                  indahnya cahaya bulan, dinginnya angin malam, bahkan masih diberi
                  kesempatan untuk dapat makan sehari-hari, minum sehari-hari, dan yang
                  lebih nikmat lagi, kita masih diberi kesempatan untuk tidur nyenyak...
INTAN   :  Abang yang tidur nyenyak! Intan tidak pernah bisa tidur nyenyak. Di  
                  kepala Intan ada saja persolan. Di kepala Intan ada saja pertanyaan.
                  Di  kepala Intan ada saja keresahan. Bagaimana aku bisa tidur.   
NURDIN :  Ah, itulah pangkal permasalahannya. Intan tidak pernah iklas menerima
                   kenyatan ini. Intan tidak pernah puas dengan pemberian Allah. Intan
                   tidak pernah sabar menunggu kemukjizatan Allah...
INTAN   :  Apa kau bilang tadi, Bang? Abang bilang Intan tidak pernah iklas? Abang
                  bilang Intan tidak pernah puas? Abang bilang Intan tidak pernah sabar?
                 ...ya jawabnya. Aneh...rupanya Abang tidak pernah berpikir, dari sebelum
                  menikah sampai sudah menikah Abang sudah menjadi guru honor, dan
                  selama 11 tahun itu pula aku selalu mendampingi Abang, apa itu namanya
                  Bang...Nur...din...Lu...bis yang Intan cintai? Apa, Bang? Apa? Keterlaluan
                  Abang mempermainkan kata-kata seenaknya. Aku tidak terima, Bang!
NURDIN :  Tapi itu kenyataannya, Dik! Kau selalu menyudutkan abang. Kau selalu
                   saja berteriak. Kau selalu saja marah. Sepertinya tidak puas dengan
                   hasil kerjaku.
INTAN   :  Seperti itukah kau menilai diriku, Bang? Kau lupa kita orang mana? Dari
                  mana asal kita? 11 tahun kau tak paham karakterku juga? Sifat baik
                  burukku, Bang?
NURDIN :  Bukan begitu maksud abang, Dik.
INTAN   :  Aku memang tidak puas dengan keadaan ini. Dan kau sendiri pernah
                  bicara kalau manusia memang tidak pernah puas sebelum atau sesudah
                  tercapai tujuannya. Begitu, kan, Bang? Dan aku, Intan istrimu
                  sebenarnya hanya ingin membangkitkan semangat Abang. Memotivasi
                  Abang agar tidak patah dalam menghadapi tantangan ini, Bang! Tapi kau
                  selalu saja salah mengartikan apa yang ada di kepalaku. Di batinku. Kini
                  aku kecewa dengan Abang.
NURDIN :  Kecewa bagaimana? Aku sudah berusaha sekuat tenagaku, Dik. Aku
                  sudah mengikuti ujian berkali-kali. Bahkan sudah kuturuti segala saran
                  yang kau berikan. Kau bilang abang pandai menulis puisi, menulis cerpen,
                  menulis berita. Dan saran teman-temanku pun sebaiknya aku menulis
                  sambil menunggu keberuntunganku menjadi PNS. Semua sudah aku
                  turuti. Semua sudah aku lakukan. Tapi hasilnya apa, Dik? Tetap selalu
                  ditolak, belum beruntung abang. Belum hokinya. Dan seribu belum bentuk
                  penolakan.  Apa lagi, Dik? Saran orang tua kau pun sudah kujalankan.
                  Tapi apa yang kuperoleh? Aku seperti seonggok sampah yang tak
                  berarti. Di mata orang tua kau, abang rela berendah diri. Tak aku pikir
                  lagi martabatku. Bila perlu kugadaikan harga diriku sepenuhnya untuk
                  kau, Dik. Betapa cintanya abang. Betapa sayangnya abang kepada Intan.
                  Tapi, inilah nasib. Atau barang kali sudah menjadi garis tanganku.
                  (MEMANDANGI INTAN YANG SIBUK MENGHAPUS AIR MATA
                   YANG TERUS MENERUS MENETES) Sudah! Sudah! Abang salah, Dik.
                  Abang minta maaf, ya. (MENARIK TUBUH INTAN KE DALAM
                  PELUKANNYA)
INTAN MASUK KE DALAM PELUKAN NURDIN, TENGGELAM BERSAMA ISAK TANGISNYA. NURDIN TAK KUASA. NURDIN TAK BERDAYA KALAU SUDAH DEMIKIAN.
NURDIN :  Abang harus berangkat, Dik. (MELEPASKAN PELUKANNYA)
INTAN   :  (MENYEMBUNYIKAN WAJAHNYA KARENA ISAKNYA MASIH
                   TERSISA)
NURDIN :  Abang boleh minta kopinya, Dik?
INTAN   :  Sudah dingin. Sejak tadi Intan bangunkan Abang. Aku buatkan lagi saja.
NURDIN :  Aaa, tidak perlu istriku yang cantik. Kopi boleh dingin asalkan senyummu
                   tidak dingin untuk abang.
                     (BERLALU SAMBIL MENCUBIT PIPI INTAN)
INTAN   :   Hati-hati, Bang! Jangan berjalan sambil bermimpi! Tak baik itu!
INTAN MENGANTAR NURDIN DENGAN SENYUM SAMPAI KE DEPAN PINTU.
INTAN DUDUK MERENUNG DENGAN MELETAKKAN TANGANNYA DI MEJA. PIKIRANNYA MENERAWANG. PERASAANNYA MELAYANG. BATINNYA MENGERANG.
INTAN   :   Ya, Allah. Salahkah aku berlaku seperti ini terhadap suamiku? Aku tahu
                   dia sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi aku tak berdaya menolak emosi
                   ketidakpuasanku. Ya, Allah beri dia petunjuk, beri dia keberhasilan, itu
                   saja yang kuminta sementara ini. Maafkan Intan, Bang.

Tiga
RUANGAN ITU BERWARNA BIRU. DALAM RUANGAN ADA NURDIN DAN INTAN DALAM KEBAHAGIAAN. MEREKA BERMAIN DI TEPI PANTAI. MEREKA SEPERTI MENDAPATKAN SESUATU YANG SELAMA INI DINANTI. TAPI TAK LAMA HANYA BEBERAPA MENIT DALAM MIMPI NURDIN. DIA TERBANGUN KARENA  RASA DAHAGANYA YANG TAK TERKENDALI.
NURDIN :  (BERADA DI DEPAN INTAN, BERLARI KECIL) Intan, abang di sini! Ayo
                   kejar abang! Jangan berdiam diri! Lepas Sepatu kau! Jangan takut air!
INTAN   :  Intan takut, Bang! Lagi pula aku masih sayang melepas sepatu baru yang
                  kau belikan! Nanti rusak!
NURDIN :  Gampang itu! Nanti abang belikan lagi! Cepat ke sini ada kejutan yang
                  ingin abang sampaikan! Ayolah!
INTAN   :  Iya! Intan akan mengejar Abang!
NURDIN :  Kalau dulu abang yang mengejar-ngejar Intan, sekarang Intan yang
                  mengejar-ngejar abanglah!
INTAN   :  Iya! Tapi kakau Intan berhasil mengejar Abang, apa hadiah untuk Intan,
                  Bang?!
NURDIN :  Apa sajalah yang Intan minta, abang akan penuhi!
INTAN   :  Intan minta 10 pasang sepatu baru yang haknya tinggi.
NURDIN :  O, ya? Beres itu nanti, tapi kuminta jangan terlalu tinggi, nanti kau
                   jatuh, luka pula kau nanti, abang yang rugi!
INTAN   :  Ya! Intan minta selusin pakaian baru. Gaun pesta! Gaun malam! Gaun
                   siang! Gaun pagi! Dan gaun...!       
NURDIN :  Gaun tidur yang tipis, transparan (TERTAWA) kau pasti lupa itu!
INTAN   :  Iya, aku juga masih ada yang lupa, Bang! Kalung Intan yang Abang pakai
                  untuk ujian pegawai negeri pertama kali, diganti ya, Bang!      
NURDIN :  Ok, beres! Abang ganti nanti 10 kali lipat dari yang abang pinjam!
INTAN   :   10 gram beratnya, Bang! 24 karat! Itu kenang-kenangan dari mamakku,
                   ya, Bang!       
NURDIN :  Ya, tenang saja! Semua milik Intan yang abang pakai, pasti abang
        kembalikan!
INTAN   :  Cincin, anting, dan gelangku bagaimana, Bang?!
NURDIN :  Beres! Abang ganti 20 kali lipat!
INTAN   :  Uangku dalam celengan ayam yang kau pecahkan, yang kau pakai,
                   jumlahnya seratus dua puluh lima ribu itu juga bagaimana, Bang?!
NURDIN :  Beres! Abang ganti 30 kali lipat!
INTAN   :  Benar itu ya, Bang?!
NURDIN :  Beres!
MEREKA TERUS SALING KEJAR, SALING MENYIRAMKAN AIR LAUT KE TUBUH MEREKA BERGANTIAN. MEREKA TERTAWA. MEREKA TERJATUH. MEREKA BANGKIT LAGI HINGGA MEREKA KELELAHAN.
INTAN   :  Aku kehilangan pekerjaan, Bang! Karena kau suruh aku berhenti! Berapa
                  banyak sudah gajiku yang hilang, selama aku jadi istri kau! Jadi boleh
                  aku bekerja lagi, Bang?!,
NURDIN :  Tidak boleh, kau urus saja rumah! Kau perhatikan aku! Sayangi aku! Dan
         cintai aku sepenuhnya! Kuganti penuh uang gajimu selama itu!
INTAN   :  Anak kita yang masih berusia tiga bulan dalam kandunganku yang gugur,
                  bisa kau ganti, Bang?!
NURDIN :  Anak kita!!! ... Akhhhhh ....
MENDADAK MEREKA BERHENTI BERLARI. DAN NURDIN PUN TERBANGUN KARENA MIMPINYA TERPENGGAL LAGI.
NURDIN :  Ya, anak kita...Kau dulu keguguran Intan. Kau terlalu memaksakan diri
        untuk tetap bekerja. Oughh, maafkan abang, Intan. Untuk yang satu ini,
        abang belum bisa memenuhinya sampai saat ini. Abang tidak tahu.
        Barangkali juga Tuhan belum mengizinkan kita mempunyai anak.
        (MENCOBA MENGINGAT-INGAT, TAPI RAGU) Akh, tidak sampai lagi
 aku mencapai ujung mimpiku. Sebetulnya ada yang ingin aku sampaikan
 kepada Intan di akkhir mimpiku bahwa aku berhasil menjadi guru yang
 sebenarnya. Aku lulus menjadi pegawai negeri. Akh, di mana potongan
 mimpiku tadi. Kalau saja...andai saja...tadi Intan tidak bicara soal anak,
 barangkali, ah, tidak bukan barangkali tapi pasti, aku akan berhasil
 menyampaikan berita itu. Dan Intan pasti berbahagia mendengar
 berita itu. Meski dalam mimpi. Aku tidak bisa membayangkan
 kebahagiaan di wajah Intan. Matanya pasti berbinar. Senyumnya pasti
 melebar. Rona merah karena senang bercampur bangga tergambar di
 pipinya. Meski hanya mimpi. Yach, ini kenyataan kalau aku masih saja
 bermimpi.

Empat
MASIH SIANG. INTAN MENUNGGU NURDIN PULANG. SEPERTI BIASA NURDIN PASTI PULANG TERLAMBAT SAMPAI DI RUMAH DENGAN BERBAGAI ALASAN KETERLAMBATAN. MACET. BERJALAN KAKI KARENA MENGHEMAT ONGKOS BUS. ATAU ADA TAMBAHAN PELAJARAN DI SEKOLAH. SEMENTARA INTAN MENUNGGU NURDIN, TUKANG KREDIT KELILING DATANG MENAGIH KARENA SUDAH WAKTUNYA MINGGU TAGIHAN.
MANG UTANG :  Assalamualaikum! Bu Intan! Bu Intan!
INTAN             :  Siapa? Mang Utang ya?
MANG UTANG :  Siapa lagi atuh, kalau bukan Mang Utang, yang suaranya merdu
                            kalau menyapa kapan bayar utang.
INTAN             :  Akh, Mang Utang bisa saja. Mau nagih, ya, Mang?
MANG UTANG :  Ya, iya, atuh Ibu. Kan si Ibu Intan sudah tau kalau seminggu sekali
                            Mang Utang datang. Tidak usah pura-pura lupa atuh, Bu. Kan,
                            sudah kawajiban ibu.
INTAN             :  Ya, saya tidak lupa, Mang. Kpk begitu bicaranya?
MANG UTANG :  Ya, sudah, sok atuh dibayar sakarang, sebab si Mamang teh mau
                            keliling lagi. Masih banyak yang nunggak.
INTAN             :  Itulah, Mang. Si Bapak Nurdin belum gajian.
MANG UTANG :  Aduh, ini teh sudah minggu keempat. Akhir bulan, Bu. Masa belum
                            gajian. Itu mah alasan klise.
INTAN             :  Ya, betul, Mang. Belum gajian. Jadi saya nunggak deh.
MANG UTANG :  Eleh, eleh, si Ibu teh, minggu kamarin sudah nunggak. Sekarang
                             mau nunggak lagi. Ini, yang begini penyebab kredit macet.
INTAN             :  Kok, bicaranya begitu Mang Utang?
MANG UTANG :  Yah, harus bicara bagaimana lagi. Berarti si Ibu tidak bertanggung
                             jawab. Kalau dalam hukum ini harus diproses. Tapi, si Mamang, kan
                             tidak mau begitu. Si mamang mah, seneng jalan damai. Tentram.
                            Kekeluargaan.
INTAN             :  Begitu dong, Mang, kan enak didengarnya.
MANG UTANG :  Iya. Tapi sekarang tetep bayar atuh, Bu.
INTAN             :  Bagaimana, sih Mang Utang, kok berbelit-belit bicaranya! Tadi
                            katanya kekeluargaan.
MANG UTANG :  Eleh, eleh, si Ibu yang bicaranya berbelit-belit. Saya mah wajib
                            menagih. Kalo Ibu menunggak, kenapa menunggak? Kalo Ibu mau
                             bayar, kenapa Ibu tidak bayar? Begitu, kan logikanya.
INTAN             :  Mang Utang, saya ini orang terpelajar. Jadi tau kewajiban saya.
MANG UTANG :  Kalau terpelajar berarti Ibu wajib membayar. Mengapa Ibu tidak
                             membayar?
INTAN             :  Mang Utang, sudah habis ya, kesabaran saya.
MANG UTANG :  Saya juga sudah tidak punya  kesabarannya, Ibu. Jadi mau
                             bagaimana ini?
INTAN             :  Ya, sudah. Minggu depan saya lunasi.
MANG UTANG :  Tidak bisa begitu Ibu. Ini bicara masalah hidup dan kehidupan.
INTAN             :  Mang Utang, jangan ngaco! Jangan sok kepinteran, ya?
MANG UTANG :  Saya memang pinter, Ibu. Kalau tidak pinter, saya tidak mungkin
                             jadi tukang kredit. Saya tidak berani meminjamkan uang. Begini
                             begini saya sarjana ekonomi Ibu.  
INTAN              :  Sarjana ekonomi, kok jadi tukang kredit keliling.
MANG UTANG :   Ya, masuk di akal Ibu. Kalau saya sarjana ekonomi jadi tukang
                             beca masuk akalnya sedikit, ruginya banyak. bukan begitu Ibu?
                             Berarti,  saya sarjana ekonomi yang peduli rakyat kecil yang
                             membutuhkan bantuan. Si Mang Utanglah orangnya. Seharusnya
                             si Mamang teh dapat penghargaan.
INTAN             :  Sudah! Sudah! Saya tidak mau ribut-ribut. Minggu depan Mang
                             Utang ke sini lagi saya lunasi.
MANG UTANG :  tidak bisa begitu atuh Ibu. Saya teh rugi ini.
INTAN             :  Mang Utang mau pergi, atau saya berteriak. Biar orang sekampung
                            di sini datang mengeroyok, memukuli Mang Utang?
MANG UTANG :  Atas tuduhan apa, saya dihakimi, dipukuli orang sekampung?
INTAN             :  Atas tuduhan pelecehan seksual. Pemerkosaan. Tindak kekerasan
                             terhadap wanita. Mau?
MANG UTANG :  Itu fitnah namanya. Mang Utang tidak berbuat apa-apa. Itu
                            termasuk tindak kejahatan.
INTAN             :  Biar.
MANG UTANG :  Sok atuh si Mamang tidak pernah takut, demi kebenaran!
INTAN             :  Baik! (BERTERIAK) Tolong! Tolong! Tolong!
MANG UTANG :  (BERUBAH PIKIRAN. BERUBAH KEBERANIAN.) Wah, si Ibu teh
                             nekad. Perempuan jagoan. Sudah! Sudah! Baik, baik, saya pergi!
                             Malu saya nanti. Disangkanya bener. Jangan teriak lagi! Minggu
                            depan saya ke sini lagi!
 INTAN            :  Begitu dong, Mang. Itu namanya kekeluargaan.
                             (MENUTUP PINTU)
MANG UTANG :  (MUNCUL LAG) Iya. Tapi minggu depan benar, ya, Bu?   
INTAN              :  Terserah bagaimana nanti! (MENUTUP PINTU LAGI)
MANG UTANG :  (MUNCUL LAGI) kok, terserah bagaimana nanti?     
INTAN              :  Hey, Mmmang Utang, mau saya berteriak lagi?
MANG UTANG :  Ya, ya. Si Mamang pergi. Tapi jangan bohong lagi, ya, Bu?
INTAN   :  (MENUTUP PINTU)
INTAN MELANGKAH LAMBAN. INTAN DUDUK DI KURSI. DIA TERDIAM TAK BISA BICARA APA-APA. TANPA TERASA AIR MATANYA MENGALIR DERAS. INTAN MENANGIS TERISAK-ISAK. DIA MERASA MALU BERADA DALAM SITUASI DAN KONDISI SEPERTI ITU. DIA MERASA TAK BERHARGA DIRI. TAK MEMILIKI MARTABAT LAGI SEBAGAI MANUSIA YANG BERTANGGUNG JAWAB.
INTAN   :  Ya, Allah! Maafkan kesalahanku kepada Mang Utang yang tak bersalah.
                  Aku berdosa. Aku berdosa. Bang Nurdin, kalau saja kau berada di sini
                  saat ini, kau akan melihat betapa malunya aku di hadapan orang lain,
                  betapa rendahnya aku di mata orang lain. Itulah kesungguhanku
                  mencintaimu. Itulah pengabdianku kepadamu. Aku rela melakukan apa
                  pun demi kau Bang.

Lima
MALAM TERLALU CEPAT HADIR DALAM RUMAH PETAKAN ITU. NURDIN TAK KUASA MENOLAK KEDATANGANNYA MESKI DALAM SUASANA APA PUN. BERARTI NURDIN SIAP MASUK KE DALAM MIMPI-MIMPINYA LAGI. TAPI IA MENCEGAH KEINGINAN TIDURNYA SETELAH MELIHAT ISTRINYA BELUM TIDUR. SEPERTINYA MASIH MERASAKAN SESUATU YANG MEMBUATNYA DUDUK BERDIAM.
NURDIN :  Kau belum mau tidur, Dik?
INTAN   :  (MENGGELENG)
NURDIN :  Mengapa? Ada sesuatu yang membuat kau begini?
INTAN   :  (MENGGELENG)
NURDIN :  Boleh, abang minta kopi untuk teman merokok? (MENGELUARKAN
                  SEBATANG ROKOK)
NURDIN MENARIK KURSI DI SAMPING INTAN. IA MENYALAKAN ROKOKNYA. MENGHISAPNYA DALAM-DALAM. ASAPNYA MENGEPUL MENGHALANGI WAJAH INTAN. INTAN TIDAK MENERIMA ITU. DIA BANGKIT DARI DUDUK.
INTAN   :  Bang Nurdin! Bisa tidak kau merokok jauh-jauh dariku?
NURDIN :  Mengapa, Dik?
INTAN   :  Asapnya sangat mengganggu ketenanganku.
NURDIN :  Bicara apa, kau? Biasanya kau tidak berkomentar seperti itu?
INTAN   :  (DIAM)
NURDIN :  Ada apa Intan? Kau gundah?
INTAN   :  (MENANGIS) Abang tidak mengerti! Abang selalu bisa bicara, dan
                  banyak bicara! Intan cedí, Bang. Intan malu. Intan takut kalau begini
                  terus…
NURDIN :  Hey…hey hey. Ada apa ini? Apa yang membuat kau takut, cedí, bahkan
        marah lepada abang? Ayo, kita bicarakan!
INTAN   :  (MENGGELENG SAMBIL TERISAK) Abang tau? Apa yang Intan alami
                   sehari-hari ketika Abang tidak di rumah? Abang tau siapa saja yang
                   Intan hadapi?
NURDIN :  (MENATAP DALAM)
INTAN   :  Intan banyak utang, Bang. Dan utang itu selalu tertunggak. Intan tidak
                  mampu mengatasinya. Mereka marah. Mereka menghina. Mereka...
NURDIN :  Siapa mereka?
INTAN   :  Yach, orang-orang yang berhak menagih utang, Bang!
NURDIN :  Tapi, nanti, kan abang bayar. Semuanya akan selesai. Percaya itu, Dik.
INTAN   :  Siapa yang mau percaya kepada Abang? Siapa? Intan. Hanya Intan yang
                  percaya kata-kata Abang, karena Intan istri Abang. Orang lain? Siapa,
                  Bang? Mereka hanya tau uang mereka kembali.
NURDIN :  (DIAM)
INTAN   :   Abang selalu meyakinkan Intan dengan kenyataan dalam mimpi-mimpi
                   Abang. Tapi nyatanya apa, Bang? Tak pernah ada yang terwujud satu
                   mimpi pun dalam hidup kita. Dan selama 11 tahun Abang lakukan itu.
                   (MENGHELA NAPAS) Kalau saja aku tidak menuruti kata-kata Abang,
                   keinginan Abang untuk berhenti bekrja, tidak akan seperti ini situasi
                   dan kondisinya.
NURDIN :  Kau menyesal, Dik?
INTAN   :  (MENATAP TAJAM KEPADA NURDIN) Kalaupun menyesal, semuanya
                  sudah telanjur terjadi. Yach, barang kali setidaknya aku masih dapat
                  mengatasi permasalahan kita. Tapi, sekarang apa yang dapat kuperbuat.
                  Aku tidak bisa membuktikan kebenaranku di hadapan bapak dan
                  mamakku.  Mereka akan tersenyum sinis. Mereka akan tertawa. Atau
                  menangis karena turut menyesali nasibku.
NURDIN :  Tak baik menyesali diri jika sesuatu itu sudah menjadi pilihan kita.
        Sebaiknyalah kita terima, kita jalani, kita ambil hikmahnya dari semua
        ini.
INTAN   :  Hikmah? Hikmah apa, Bang? Hikmah mimpi?
NURDIN :  Aku sebenarnya ingin keluar dari mimpi-mimpiku tapi tidak bisa. Aku
                  selalu terjebak dalam penggalan mimpi. Aku ingin mengakhiri mimpiku
                  dalam satu kenyataan, yang akhirnya kau pun percaya bahawa antara
                  mimpi dan kenyataan itu ada, Dik. Percayalah.
INTAN   :  Tidak, Bang. Intan tidak akan pernah masuk ke dalam mimpi-mimpi
                  Abang. Dan aku berharap kau secepatnya keluar dari mimpi-mimpi itu,
                   Bang.
NURDIN :  Mimpi-mimpiku mimpi-mimpimu juga Intan. Kau ada di dalamnya. Kita
        selalu bersama. Kalau saja kau mau mengerti isi mimpi-mimpiku...
INTAN   :  Aku selalu mengerti, Bang. Bahkan aku tau isi mimpi-mimpimu.
NURDIN :  Nah, itu, Dik. Itu yang aku harapkan dan aku ingin tau apa yang...
INTAN   :  Abang hanya bermimpi tentang pegawai negeri.
NURDIN :  Betul, Dik, betul sekali!
INTAN   :  Sekian tahun hanya itu yang menjadi impian Abang.
NURDIN :  Ya, betul Intan. Benar sekali. Kau cerdas. Benar sekali istriku. Kau
                  sungguh-sungguh mengerti apa yang ada di benakku. Itu semua mimpi
                  kita, Dik.
INTAN   :  Bukan mimpi kita. Bukan mimpiku. Tapi mimpi kau Bang. Lalu untuk apa
                  kau bermimpi sekian lama tanpa mempedulikan keberadaanku di sisi
                  Abang. Untuk apa Bang?
NURDIN :  Maksud...kau
INTAN   :  Ya, untuk apa? Apa dengan mimpi-mimpi Abang hidup kita akan berubah?
                  Nasib kita akan membaik? Apa Abang tau kalau aku bahagia atau tidak?
NURDIN :  Jadi kau sudah tidak cinta dan setia kepada abang, Dik?
INTAN   :  Jangan bicara itu, Bang. Cinta dan kesetiaan,  itu kata-kata yang
                  pertama kali menjeratku ingin hidup bersama dengan Abang. Jadi jangan
                  kau jadikan tameng hidup dan kehidupan kita. Kita tidak lagi berpacaran
                  atau berkasih-kasihan. Ini keluarga Bang. Itu yang harus menjadi dasar
                  pemikiran di benak kau, Bang sebagai kepala keluarga.
NURDIN :  (TERDIAM)
INTAN   :  Mengapa kau diam, Bang? Benar kata-kataku?
NURDIN :  (MASIH DIAM)
INTAN   :  Selama ini aku saja yang harus mendengar bicara Abang. Tapi kali ini,
                  Abang yang harus mendengar kata-kataku. Tinggalkan mimpi-mimpi itu.
                  Lupakan kalau Abang pernah berharap ingin menjadi pegawai negeri.
                  Abang tau, kan, tak cukup untuk hidup dengan berbekal honor Abang
                   yang tak jelas sebagai guru.
NURDIN :  (BANGKIT MENINGGALKAN INTAN SENDIRI)
TAK ADA SEMANGAT LAGI UNTUK MENANGGAPI PEMBICARAANNYA DENGAN INTAN. YANG ADA DIA TIDAK TAHU HARUS BERBUAT APA LAGI. SEGERA DIA MENUJU KAMAR TIDUR UNTUK KEMBALI TENGGELAM DALAM MIMPI-MIMPINYA YANG PASTI AKAN MENJADI KENYATAAN.
INTAN   :  Mau ke mana, Bang? Kau marah aku bicara demikian? Semua itu betul,
                  kan, Bang? Akh, kerasnya batok kepala kau Bang, sehingga tak satu pun
                  pengertian atau pemahaman makna hidup bisa menembus otak kau, Bang.
                  (BICARA TERUS HINGGA LAMPU PADAM)  Aku tidak bicara semauku,
                  Bang. Aku hanya ingin kau bersemangat melakukan sesuatu selain mimpi
                  yang kau tunggu. Kau bisa menulis. Kau guru sastra, guru bahasa, aku
                  dukung kau untuk itu. Tapi kau selalu melakukan separuh-separuh hati.
                  Tak pernah tuntas kau bawa hasil kerja dan karya-karya kau dalam hidup
                  kita. Kau hanya menumpuk-numpuk kertas hasil relajar murid-murid kau
                  dari hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan 11 tahun sudah kau tumpuk
                  kertas-kertas itu, tanpa memikirkan untuk apa kertas-kertas itu kau
                  bawa pulang sementara tikus-tikus di kamar kita siap menggerogoti.
                  Bukan itu yang kumau melainkan isi kertas-kertas hasil tulisan kau, yang
                  dapat memaknai langkah kau menuju kesuksesan, Bang. Barang kali kau
                  sulit memahami hati dan perasaan wanita.
SUASANA DI RUANGAN RUMAH PETAK ITU GELAP. HITAM. KELAM. SEPI DAN SENYAP MENGGELAYUTI SUAMI ISTRI ITU—NURDIN LUBIS DAN MARINTAN. SUARA HATI MEREKA BERBICARA MASING-MASING DALAM MENGHADAPI PERSOALAN HIDUP.
Enam
DALAM MIMPI MALAM INI NURDIN BERTEMU DENGAN SEORANG WANITA CANTIK. BERSOLEK. PENUH WIBAWA. NURDIN MERASA BELUM PERNAH BERTEMU SEBELUMNYA.
NURDIN :  Anda siapa? Mengapa tiba-tiba saja Anda berada di dalam ruangan ini?
        Ini rumah saya. Dan apa maksud kehadiran Anda di sini?
WANITA:  Nama saya, Anugrah. Lengkapnya Anugrah Sari Idaman.
NURDIN :  Ahk, bagus sekali nama Anda.
WANITA:  Terima kasih. Anda sendiri, Nurdin, bukan?
NURDIN :  Nurdin Lubis. Nama istriku Marintan.
WANITA:  O, cantik sekali namanya.
NURDIN :  Apa maksud Anda datang ke sini?
WANITA:  Nurdin, Anda pandai menulis.
NURDIN :  Dari mana Anda tau?
WANITA:  Tidak begitu penting bagi Anda bukan?
NURDIN :  Tidak. Aku harus tau siapa yang memberi tau aku bisa menulis>
WANITA:   Istri Anda. Dialah yang memberi tau. Dia cerdas. Cantik. Menarik. Dan
         begitu mencintai dan mengasihi Anda.
NURDIN :  Di mana Anda kenal Istriku? Dan kapan Anda kenal istriku?
WANITA:  Di batin saya. Ketika dia bersedih. Saat dia berduka. Dan waktu dia
        berputus asa, kami saling berkenalan dan bertemu.
NURDIN :  Aku tidak paham maksud Anda.
WANITA:  Di situlah kelemahanmu, Nurdin. Kau egois. Kau tidak pernah mau tau
                  bagaimana perasaan istrimu. Bagaimana menyelami hati seorang
wanita. Dengan cara apa kau dapat membahagiakannya? Coba, bisa kau
ungkapkan perasaan istrimu saat ini? Setahun yang lalu? Sebelas
tahun berlalu? Bisa? Seharusnya bisa?
NURDIN :  (TERDIAM. BINGUNG.)
WANITA:  Sekarang segalanya telah terjadi. 11 tahun hanya kau isi dengan mimpi-
                   mimpi kau yang belum tentu jadi kenyataan dalam hidupmu. Bahkan kau
         memaksakan kehendakmu untuk menarik istrimu dalam mimpi-mimpimu.
 Kau suruh istrimu berhenti bekerja. Kau pakai harta benda miliknya
 dengan janji-janji indah yang justru membuatnya gundah. Kau biarkan
 istrimu melarut dalam kesedihan karena kehilangan buah hati yang akan
 menjadi penghiburannya. Kau biarkan ia menanggung malu demi
 menjaga martabatmu sebagai suami. Kau biarkan batinnya menjerit
 ketika kau belenggu dirinya dengan mimpi-mimpimu itu. Kau laki-laki
 penakut. Suami yang tak bertanggung jawab.
NURDIN :  Cukup! Cukup! Cukupkan! Aku memang salah. Aku memang kejam. Aku
        bukan laki-laki sejati. Aku tak berjati diri. Aku pecundang! Pecundang!
                  (MENGHELA NAFAS PANJANG) Aku tau. Ini hanya mimpi. Tapi siapa
                  wanita itu? Jelas sekali wajahnya. Wajahnya...senyumnya...tatap
        matanya...seperti aku kenal. Yah, seperti wajah istriku sendiri. Itu
        semua dimiliki istriku. Hanya saja, istrriku jarang bersolek. Dia yakin
        kalau aku akan mengatakannya cantik setiap saat bersamanya.
        (MENOLEH KE ARAH INTAN YANG TERNYATA MASIH TIDUR
         NYENYAK DI SAMPINGNYA)
LEGA HATI NURDIN KETIKA MELIHAT INTAN MASIH DI SISINYA. MENDAMPINGI BERSAMA MIMPI-MIMPINYA.
NURDIN :  (MELIHAT JAM YANGANNYA) Tengah malam. Aku masih bisa
         meneruskan tidurku. Dan aku berharap menemukan ujung mimpiku. Dan
         aku juga berharap aku akan akhiri mimpi-mimpiku malam ini. Aku akan
         selalu menyayangimu Intan. Aku akan membahagiakanmu dengan cara
         apa pun. Dan aku akan memulai menulis dan seterusnya menjadi penulis.
SUASANA GELAP. HITAM. PEKAT. SUNYI DAN SENYAP MILIK NURDIN
DENGAN MIMPI-MIMPINYA SETIAP SAAT. NURDIN BERTEMU SEORANG
 PRIA YANG RASANYA IA KENAL—MEMBERIKAN AMPLOP KEPADANYA.
NURDIN :  Bapak Kepala Sekolah. Ada apa Bapak malam-malam begini datang ke
                  rumah saya? Ada hal yang penting yang hjarus diselesaikan sekarang
                  juga? Saya siap, Pak, saya siap.
LAKI-LAKI : 
Memang penting sekali. Saya hanya ingin menyampaikan berita gembira untuk Anda, Pak Nurdin.   
NURDIN :  Ouh, begitu ya, Pak? Kalau boleh saya tahu, apa berita gembiranya, Pak?
LAKI-LAKI : 
Barang kali inilah buah hasil mimpi Anda selama ini, Pak Nurdin. Setelah sekian tahun Anda mengabdi di sekolah yang saya pimpin. Anda memang pantas mendapatkan isi amplop ini. Dan saya berharap Anda tidak harus bermimpi lagi. Karena saya berharap ini adalah mimpi terakhir Anda. Sampaikan saja kepada Istri Anda isi surat ini agar ia bahagia setelah sekian lama mendampingi Anda tanpa kejelasan hidup yang dilakoninya. Biarkan dia menikmati hidup ini. Bahagiakan dia            dengan cara apa pun. Dalam keadaan apa pun.
NURDIN :  Baik, Pak. Akan saya sampaikan pesan Bapak. Dan saya berjanji akan
         memenuhi keinginan istri saya. Boleh saya membuka amplop ini, Pak?
         (MEMBUKA AMPLOP SURAT) Boleh saya membacanya, Pak?
         (BERTERIAK GIRANG. RASA BAHAGIA BERTUMPUK DI DADANYA)
LAKI-LAKI MENGHILANG BERLALU DARI DARI PANDANGAN NURDIN. LAKI-
LAKI ITU TELAH KELUAR DARI MIMPI NURDIN.
NURDIN :  Intan! Intan! Intan istriku sayang, istriku cantil. Marintanku di mana,
        kau? Ini aku bawa kabar gembira! Ternyata yang selama ini kau ragukan,
        kau takutkan, semua itu terjawabkan sudah! Aku berhasil jadi pegawai
        negeri Intan! Lihat isi surat ini Intan! Lihat! Ayo cepat lihat! Ke mana
        dia? Di mana kau Intan?
NURDIN MONDAR-MANDIR DI RUANGAN DENGAN WAJAH BAHAGIA YANG TAK DAPAT DIBENDUNG. DI TANGANNYA AMPLOP DALAM MIMPI MASIH DIGENGGAMNYA. DIA MULAI PANIK KETIKA TAK DITEMUKANNYA MARINTAN ISTRINYA TERCINTA.
NURDIN :  (MELIHAT AMPLOP LALU MEMBACANYA) Ini surat dari Kepala
                   Sekolahku dalam mimpi tadi? Tapi sepertinya aku hapal tulisan ini? Ini
                   seperti tulisan istriku, Marintan? (MENOLEH KIRI KANAN. TAK
                    JUGA DILIHATNYA INTAN) Intan, Marintan ke mana kau sayang? Di
                    mana kau kasih?
                   (MEMBACA LAMAT-LAMAT TULISAN DALAM SURAT)
                     ”Bang Nurdin Lubis, suamiku tersayang. Izinkan Marintan pergi mencari sedikit saja kebahagiaan. Entah di mana itu. Tapi jangan khawatir aku selalu ingat Tuhan. Jadi aku pastikan selalu berada pada rel yang benar. Aku tidak punya mimpi selain hidup bahagia bersamamu. Lelap dalam perlindunganmu. Aku pergi bukan meninggalkan tanggung jawab sebagai istri melainkan aku pergi sebagai wanita yang kehilangan jati diri, dan aku berusaha kembali untuk menemukannya. Pesanku, usaikan sudah mimpi-mimpimu yang tak pernah jadi ada. Mimpikan saja aku dalam hidupmu sepanjang karya-karyamu kelak. Karena aku pernah ada di sisimu hingga kau melarut dalam kerinduan tak berbalas.”
Mrintan, istri yang selalu setia kepada suaminya.

NURDIN :  (MELETAKKAN SURAT DAN AMPLOP DI MEJA) Intanku...kau
                   menghilang bersama akhir mimpiku.

LAMPU PADAM MENANDAKAN SEMUA BERAKHIR.





SELESAI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Potret Guruku Part 1

PROLOG SUASANA HENING. SUARA MUSIK LAMBAN DAN LAMAT-LAMAT TERDENGAR BERSAMAAN DENGAN SEBUAH PUISI TENTANG POTRET GURUKU DILANTUNKAN SESEORANG YANG SUDAH BERADA DALAM PANGGUNG. ”Dijemputnya pagi tanpa letih disapanya mentari tanpa pamrih menuju jalan berpangkal harapan anak-anak bermasa depan. Berbekal doa anak-istri disandangnya tas di bahu kiri tak ada lagi mimpi bersisa di dahi kedua kakinya jadi saksi bahwa hidup jangan menunggu sesuatu yang tak pasti. Berdiri tegap di depan kelas dengan suara lantang diajarkannya anak-anak menghitung bintang, melihat bulan, melihat matahari, melihat langit biru, melihat awan berarak, melihat gunung menjulang, melihat bukit berhimpit, melihat laut membentang, melihat gelombang pasang, melihat pantai membelai, melihat angin menderu, melihat burung berkicau, melihat pohon meliuk,  melihat daun gugur melayang tertelentang di tanah basah, melihat hujan deras, melihat badai mengganas, melihat malam temaram, meliha...

Abunawas Mencari Cinta

ABUNAWAS MENCARI CINTA Tales from the Thousand and One Nights OPENING: M USIK ARABIAN NIGHT TERDENGAR MENGIRINGI SEORANG SAHIBULHIKAYAT MASUK DENGAN POSTURE DAN GAYA SERTA DILENGKAPI KOSTUM TIMUR TENGAH YANG BERUSAHA MEMIKAT PENDENGAR CERITA. Di TANGANNYA TERLIHAT SEBUAH KITAB KUNO BERISI RIBUAN CERITA. DIA BERLENGGAK KE KIRI BERLENGGOK KE KANAN. MAJU-MUNDUR. CELINGAK-CELINGUK MENCARI SESUATU YANG AKAN DIJADIKAN SESUATU BAGINYA. SETELAH MERASA PASTI DIA BERUJAR: “Ini hanya sebuah dongeng. Sebuah cerita pelipur lara. Jenaka. Logika. Dan nyata bagi siapa saja yang dapat memahami ceritanya. Bagi yang tidak bisa memahami cerita ini, ML namanya (masalah elu). Dan bagi siapa saja yang tidak tertawa melihat kelucuan dalam cerita ini yang sebenarnya tidak lucu,  PL namanya (penderitaan elu).” LALU KATANYA: “Assalamualaikum. Wahai penonton, wahai pendengar. Ada sebuah cerita dari sekian cerita yang disampaikan dari lisan ke lisan, tentang istana kerajaan, tentang raja-ra...

Reuni Banci

REUNI BANCI PROLOG (SUARA MENGGEMA MEMBUAT BERGIDIK TIAP ORANG YANG BERIMAN MENDENGARNYA) AN-NUR : AYAT 1 S u ratun anzaln a h a wa faradn a h a waanzaln a f i h a a y a tim bayin a til la’alakum tazakkar u n “(inilah) suatu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukumnya), dan Kami turunkan di dalamnya tanda-tanda (kebesaran Allah) yang jelas agar kamu ingat.” AL-HUJURAT: AYAT 13 Ya ayyuhan-nasu inna khalaqnakum min zakariw wa unsa wa ja’alnakum syu’ubaw wa qaba’ila lita’arafu, inna akramakum ‘indallahi atqakum, innallaha ‘alimun khabir. “Wahai  manusia! Sungguh, Kami  telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. PUTARAN 1 REMBANG SENJA. HENING. SUASANA BEGITU MENCEKAM. SESAAT TERDENGAR D...